BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sastra dapat dipandang sebagai suatu
gejala sosial. Sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu langsung
berkaitan dengan norma-norma dan adat masa tersebut. Pengarang mengubah
karyanya selaku seorang warga masyarakat dan menyapa pembaca yang sama-sama
dengannya merupakan warga masyarakat tersebut (Luxemburg, 1986: 23).
Sastra, tidak seperti halnya ilmu kimia atau sejarah, tidak menyuguhkan ilmu
pengetahuan dalam bentuk jadi. Sastra berkaitan erat dengan semua aspek manusia
dan alam dengan keseluruhannya (Rahmanto, 1989: 17). Sehingga sastra dapat
sebagai hiburan, pelajaran kehidupan dan sarana penyampain tujuan yang dikemas
dalam keindahan. Sastra menyajikan
kehidupan dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyatan sosial, walaupun
karya sastra meniru alam dan dunia subjektif manusia.
1
|
1
|
1
|
Pada dasarnya kehidupan manusia sangatlah kompleks dengan berbagai
masalah kehidupan. Dari kehidupan yang kompleks tersebut terdapat beberapa
permasalahan kehidupan yang mencakup hubungan antarmasyarakat, antarmanusia,
manusia dengan Tuhannya, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang.
Bagi seorang pengarang yang peka terhadap permasalahan-permasalahan tersebut,
dengan hasil perenungan, penghayatan, dan hasil imajinasinya, kemudian
menuangkan gagasan/ idenya tersebut dalam karya sastra. Karya sastra adalah
suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni (Wellek
dan Warren, 1990: 3). Karya sastra merupakan segala sesuatu yang ditulis dan
dicetak. Adapun menurut Sutejo dan Kasnadi karya satra bergulat dengan
keindahan atau estetik (2010: 35). Dengan demikian, karya sastra merupakan
karya imajinatif yang lahir dari sebuah gejala yang ada dalam masyarakat dengan
pengemasan kindahan. Selain bertabur keindahan atau keestetikan, karya sastra
juga sebagai bayangan atau pantulan keadaan kehidupan masyarakat. Sebagai seorang pengarang, karya sastra dijadikan alat komunikasi
penyampaian pesan-pesan yang terkandung dalam karya sastra itu sendiri.
Berkaitan dengan karya sastra sebagai bayangan
atau pantulan keadaan masyarakat, menurut Watt yang diungkapkan oleh Damono di dalam
bukunya Endraswara (2011: 81), bahwa fungsi sosial sastra adalah; (a) sebagai
pembaharu atau perombak, (b) sebagai penghibur belaka, dan (c) sebagai
pengajaran sesuatu dengan jalan menghibur. Masyarakat sebagai sasaran sekaligus
sebagai penikmat karya sastra akan menilai seberapa jauh fungsi suatu karya
sastra yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat. Dengan demikian, apakah
karya sastra tertentu memiliki fungsi sosial politik, sosial spiritual, sosial
budaya, atau yang lainnya, tergantung kesan dari masyarakat pembaca.
Karya sastra
adalah cermin kehidupan masyarakat, sesuai pendapat Abrams yang diperjelas oleh
Endraswara (2011: 89), bahwa sebuah novel tidak hanya mencerminkan “realitas”
melainkan lebih dari itu memberikan kepada kita “sebuah refleksi realitas yang
lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamika” yang mungkin
melampaui pemahaman umum. Sebuah karya sastra tidak hanya mencerminkan fenomena
individual secara tertutup melainkan lebih merupakan sebuah “proses yang hidup”. Karya sastra adalah adalah karya seni yang
mediumnya sudah bersifat tanda yang mempunyai arti, yaitu bahasa (Pradopo,
2001: 47). Lewat medium bahasa karya sastra, berbicara mengenai manusia dan
kemanusiaan, sedangkan manusia tidak terlepas dari keberadaannya sebagai
makhluk sosial dan budaya. Pendapat tersebut sesuai dengan Wellek dan Warren
(1992: 109) bahwa sastra menyajikan kehidupan dan kehidupan itu sebagian besar
terdiri atas kenyataan sosial. Sehingga novel sebagai salah satu
bentuk karya sastra sebagai bahan perenungan untuk mencari nilai-nilai
kehidupan, pendidikan, serta pesan moral. Diharapkan memunculkan
pemikiran-pemikiran yang positif bagi pembacanya, sehingga pembaca peka
terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan sosial budaya.
Setiap kebudayaan yang hidup dalam suatu
masyarakat yang berwujud sebagai komunitas desa, atau kota, atau sebagai
kelompok adat yang lain, bisa menampilkan suatu corak yang khas (Fathoni, 2006:
46). Kebudayaan merupakan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang susah untuk
diubah.
Kehidupan
sosial budaya Jawa sangat erat dengan kehidupan masyarakat Jawa terutama pada
masyarakat Jawa yang hidup di pedesaan (Kasnadi dan Sutejo, 2010: 107). Tradisi
yang masih bercirikhas kehidupan tradisional yang sangat kental dengan alam.
Kemajuan ilmu dan teknologi yang terhambat oleh sumber daya manusia, membuat
kehidupan di pedesaan maupun di pegunungan masih jauh dari kemodernisasian.
Budaya Jawa sebagai budaya ketimuran mulai pudar
pada masa kemasa. Munguak budaya Jawa seakan memasuki dunia yang penuh hiasan dari
mistik, tahayul sampai dunia sanepan atau
perlambang. Kehidupan yang unik dan penuh perhitungan membuat budaya Jawa
mempunyai nilai yang sangat berharga. Dalam pandangan Endraswara (2010: iv)
menyimak budaya Jawa, sama saja meneropong falsafah hidup orang Jawa secara
total. Kodrat orang Jawa sejak dulu kala memang mesterius. Sedang kehidupan
sosial dan kebudayaan orang Jawa sendiri dilatarbelakangi oleh sisa kebiasaan
hidup pada zaman sebelumya (Yana, 2010: 11). Dari waktu kewaktu, ada yang tetap
dan ada yang berubah dalam diri oarng Jawa. Mistik merupakan keyakinan
hidup orang Jawa yang telah lahir turun
tumurun dari gnerasi ke generasi( Yana, 2010: 25). Dunia mistik identik dengan
orang Jawa. Tidak heran, kalau banyak buku, majalah, dan tanyangan televisi
yang berbaur sihir, ilmu hitam, atau berbagai kejadian aneh. Dunia mistik orang
Jawa merupakan salah satu dunia mistik yang unik. Bukan karena prakteknya saja
yang menembus alam bawah sadar manusia. Namun juga keterlibatannya dalam
mengawal sejarah bangsa. Seiring
kemajuan jaman dan kemodernisasi, mistik tetap dipakai dalam pewujudan suatu
tujuan.
Sebagian orang Jawa masih
percaya adanya setan atau hantu yang megganggu manusia. Itulah sebabnya pada
saat melakukan perjalanan ke manapun hendaknya berhati-hati, apalagi melewati
hutan yang dianggap wingit atau angker (Enndraswara, 2010: 3). Dengan demikian mengungkap budaya Jawa sama halnya
mengungkap falsafah hidup kita sebagai orang Jawa.
Novel Lanang
merupakan sebuah karya sastra yang akan
membawa kita meruntuhkan blokade terhadap orang lain sebagai impersonalitas
menuju sesuatu yang yang personal dengan menciptakan ruang intim. (Adi, Lanang. 2008). Tokoh yang ada di
dalamnya mempunyai permasalaha yang rumit dan membingungkan. Permasalahan yang
selalu muncul serta terus bertambah membuat tokoh di dalamnya mengalami
gunjangan jiwa yang dasyat. Sehingga kebingungan dan kerumitan tersebut menimbulkan
tingkah laku yang bersifal personal maupun individual.
Dalam novel Lanang
diceritakan seorang dokter hewan yang bernama Lanang ditugaskan di daerah
perdesaan. Kehadiran wabah penyakit yang
mesterius, sebagai tantangan dokter hewan Lanang dalam mengawali tugasnya.
Wabah penyakit yang tidak sekedar muncul begitu saja, akan tetapi lahir dari
proses kemajuan dari dunia kedokteran hewan. Djokosujatno (Lanang. 2008: xvi) menyebutkan
bahwa, wabah penyakit mesterius tidak hanya berhubungan dengan sapi dan
peternaknya, tetapi juga dengan lembaga-lembaga lain, koperasi, perhimpunan
dokter hewan Nusantara, laboratorium, pemerintah, juga dengan gereja dan dukun.
Membaca Novel Lanang seakan berjalan di depan
pertokoan. Berbagai warna kehidupan disajikan dengan berbagai konflik yang
kompleks. Hal ini dikemukaan oleh Loekito (Lanang, 2008: xiii) bahwa ada berbagai macam hal dipajang, ada yang
cantik, ada yang kotor. Mulai dari urusan koperasi, manajemen, LSM, karakter
flora-fauna, profesi dokter hewan, mistik, agama, kecelakaan, kloning,
laboratorium, peternakan, libido, seks, penipuan, pelacuran, dan lain
sebagainya. Oleh sebab itu tidak mengherankan kalau novel Lanang menjadi novel terbaik dalam sayembara Dewan Kesenian Jakarta
tahun 2006.
Yonathan Rahardjo penulis
novel Lanang (2008) peraih
penghargaan sastra sebagai salah satu Pemenang Lomba Novel Dewan Kesenian
Jakarta 2006. Juga menulis buku tunggal: Avian
Influenza, Pencegahan dan
Pengendaliannya (2004) dan Kumpulan Puisi
Jawaban Kekacauan (2004). Ia lahir
di Bojonegoro, Jawa Timur, 17 Januari 1969. Semasa sekolah menulis di
media siswa SMPN 1 dan SMAN 2 Bojonegoro. Semasa kuliah di Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Airlangga Surabaya pernah menjadi wartawan Koran Harian Memorandum, manulis di media kampus dan
organisasi masyarakat.( Lanang, 2008: 415)
Dari
uraian di atas judul penelitian ini adalah Aspek
Sosial Budaya Jawa dalam novel Lanang Karya Yonathan Rahardjo.
B. Identifikasi
Masalah
Dalam novel Lanang karya
Yonathan Raharjo ini banyak disajikan
baik secara tersurat dan tersirat tentang sosial budaya dengan setting daerah
pegunungan. Selain itu juga tercermin kemajuan dalam dunia kedokteran hewan
tentang pengkloningan transgenitik sebagai wujud dari riset ilmuan barat. Adanya sosok
dokter hewan yang bernama Lanang yang kental dengan budaya timur yaitu
budaya Jawa yang identik dengan kehidupan tradisional dan mistik. Ditambah kepercayaan
masyarakat yang masih awam tentang dunia kedokteran hewan, sehingga masih
menggunakan metode-metode tradisional yang kadang-kadang tidak rasional untuk
mengatasi berbagai masalah mengenai hewan ternaknya.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, dapat
diidentifikasikan sebagai berikut:
a.
Kehidupan batin orang Jawa dalam novel Lanang karya Yonathan Rahardjo.
b.
Penggunaan Primbon dan kearifan lokal Jawa
dalam novel Lanang karya Yonathan Rahardjo.
c.
Etika orang Jawa dalam
novel Lanang karya Yonathan Rahardjo.
d.
Pandangan orang Jawa terhadap
alam semesta dalam novel Lanang karya
Yonathan Raharjo.
e.
Kehidupan
sosial budaya masyarakat Jawa dalam membina keluarga dengan tata aturan menurut
hukum adat yang berlaku dalam Novel Lanang karya Yonathan Rahardjo.
f.
Kehidupan orang Jawa yang selalu identik dengan
dunia mistik dalam Novel Lanang
karya Yonathan Rahardjo.
C. Pembatasan
Masalah
Untuk
menghindari meluasnya permasalahan maka penulis membatasi permasalahan pada:
a. Kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa
dalam membina keluarga dengan tata aturan menurut hukum adat yang berlaku dalam
Novel Lanang karya Yonathan Rahardjo.
b. Kehidupan
orang Jawa yang selalu identik dengan dunia mistik dalam Novel Lanang karya Yonathan Rahardjo.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas didapatkan
rumusan masalah sebagai berikut:
a.
Bagaimana
kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa dalam membina keluarga dengan tata
aturan menurut hukum adat yang berlaku dalam Novel Lanang karya Yonathan Rahardjo ?
b.
Bagaimana
kehidupan orang Jawa yang selalu identik dengan dunia mistik
dalam Novel Lanang karya Yonathan
Rahardjo?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan
uraian latar belakang dan perumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a. Untuk mendeskripsikan kehidupan sosial
budaya masyarakat Jawa dalam membina keluarga dengan tata aturan menurut hukum
adat yang berlaku dalam Novel Lanang karya Yonathan Rahardjo.
b. Untuk mendeskripsikan kehidupan orang Jawa yang
selalu identik dengan dunia mistik dalam
novel Lanang karya Yonathan Raharjo.
F. Manfaat Penelitian.
Manfaat
yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:
a. Secara Teoritis
Penelitian
ini diharapkan dapat memberi kontribusi tentang penentuan sikap-sikap yang
seharusnya dimiliki manusia dan dapat memberikan manfaat terhadap perkembangan
ilmu pengetahuan baik sosial maupun budaya, terutama budaya Jawa.
b. Secara Praktis
Penelitian
ini diharapkan dapat mengajarkan bahwa terdapat banyak pelajaran yang
didapatkan dari sebuah karya sastra (novel) sehingga bukan tidak mungkin dapat
menarik minat baca masyarakat terhadap novel dan karya sastra yang lain.
G. Definisi Istilah
Agar mempermudah
dan tidak menimbulkan kesalah pahaman dalam memahami penelitian yang berjudul Aspek
Sosial Budaya Jawa dalam Novel Lanang Karya Yonathan Rahardjo, penulis menyertakan penegasan istilah dalam judul
tersebut.
1. Aspek
sosial budaya Jawa adalah bagian atau tanda-tanda dari kehidupan masyarakat
Jawa yang sudah menjadi tradisi turun menurun sejak dahulu.
Dalam penelitian ini aspek sosial budaya Jawa menurun menitik beratkan
kepada (a) kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa dalam membina
keluarga dengan tata aturan menurut hukum adat yang berlaku,
dan (b) kehidupan orang Jawa yang
selalu identik dengan dunia mistik.
2.
Novel Lanang adalah novel pemenang dalam sayembara Dewan Kesenian Jakarta
tahun 2006, karya Yonathan Raharjo. Berukuran 12,5 x 20 cm dengan ketebalan 44o halaman.
Diterbitkan oleh Pustaka Alvabet Anggota IKAPI, cetakan 1 Mei 2008.
KAJIAN
TEORI
A. Kajian Teori
1. Pengertian
Sastra
Sastra
adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah proses kreatif meliputi seluruh tahapan,
mulai dari dorongan bawah sadar yang melahirkan karya satra sampai pada
perbaikan terakhir yang dilakukan sastrawan (Wellel dan Warren, 1990: 3).
Sedangkan menurut Lugxembrug, bahwa sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah
kreasi, bukan semata-mata sebuah imitasi. Sastra bersifat otonom, tidak mengacu
kepada sesuatu yang lain, dan sastra bersifat komunikatif (1986: 5).
Sastra,
tidak seperti halnya ilmu kimia atau sejarah, tidaklah menyuguhkan ilmu
pengetahuan dalam bentuk jadi. Sastra berkaitan erat dengan semua aspek manusia
dan alam dengan keseluruhannya (Rahmanto, 1989: 17). Dalam pandangan Damono, sastra menampilkan gambaran
kehidupan; dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Sastra
diciptakan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan (1978: 1). Sehingga sastra dapat sebagai hiburan,
pelajaran kehidupan dan sarana penyampain tujuan yang dikemas dalam keindahan.
11
|
Banyak
definisi sastra yang telah dikemukakan oleh para ahli sastra di atas. Pada
dasarnya definisi tersebut mempunyai dasar pengertian yang sama, meskipun
diuraiakan dengan kalimat dan bahasa yang berbeda. Secara intuitif, memang kita
mengetahui apa yang disebut sastra itu, namun deskriftif dari pengertian yang
ada pada pilihan itulah yang masih sulit dirumuskan dalam bentuk kalimat yang
tepat.
2.
Hakikat Karya Sastra
Karya sastra dalam hal ini fiksi, menawarkan
bentuk-bentuk realita kegidupan yang diidealkan oleh seorang pengarang
sekaligus sebuah karya yang penuh
keestetikan. Karya Fiksi menurut Nurgiyantoro, menceritakan berbagai masalah
kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan, diri sendiri, dan
dengan Tuhan, yang merupakan hasil dari penghayatan, perenungan secara intens,
perenungan terhadap hakikat hidup dalam kehidupan , perenungan yang dilakukan
dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreativitas sebagi karya
seni (1998: 3). Lewat medium bahasa
karya sastra, berbicara mengenai manusia dan kemanusiaan, sedangkan manusia
tidak terlepas dari keberadaannya sebagai makhluk sosial dan budaya. Pendapat
tersebut sesuai dengan pandangan Wellek dan Warren (1992: 109) bahwa sastra menyajikan
kehidupan dan kehidupan itu sebagian besar terdiri atas kenyataan sosial.
Sedangkan menurut Plato dalam (Saraswati, 2003: 20)
karya sastra adalah sebagi tiruan dari kenyataan. Karya sastra adalah adalah
karya seni yang mediumnya sudah bersifat tanda yang mempunyai arti, yaitu
bahasa (Pradopo, 2001: 47). Karya
sastra adalah cermin kehidupan masyarakat, sesuai pendapat Abrams yang
diperjelas oleh Endraswara (2011: 89), bahwa sebuah novel tidak hanya
mencerminkan “realitas” melainkan lebih dari itu memberikan kepada kita “sebuah
refleksi realitas yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih
dinamika” yang mungkin melampaui pemahaman umum. Sebuah karya sastra tidak
hanya mencerminkan fenomena individual secara tertutup melainkan lebih
merupakan sebuah “proses yang hidup”.
Berdasarkan bidang
kajiannya wujud karya sastra meliputi, (1) sastra tulis berupa karya satra yang
diwujudkan dalam bentuk tulisan atau cetakan, yaitu berupa puisi, cerpen,
novelet, novel, prosa liris, dan drama, (2) sastra lisan ialah karya satra yang
terekspresikan lewat bahasa lisan, (3) bidang kesenian dalam bidang sastra yaitu
mengacu kepada sebuah pertunjukkan kesenian (Kasnadi dan Sutejo, 2010: 57).
3. Pengertian
Novel
Novel
mampu menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial yang rumit, hubungan
yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan berbagai peristiwa yang ruwet
yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetail (Stanton , 2007: 90). Selain memiliki alur cerita, novel juga
memiliki tema; makna keseluruhan dari jalinan cerita yang ada, setting waktu,
nada (irama cerita), karakteristik atau pengembangan dari karakter-karakter
yang ada, dan juga dialog (Irawan,2008:57). Novel juga dapat mengemukakan
sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih
detil, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks
dari pada cerpen (Nurgiantoro, 1998: 11). Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, novel yaitu karangan prosa yang
panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dan orang-orang di
sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat pelaku (2005: 788).
Dari beberapa pendapat di atas,
novel dapat diartika sebuah karya yang panjang ceritanya di dalamnya
menghadirkan berbagai masalah yang kompleks serta menonjolkan watak dan sifat
pelaku, sehingga memerlukan waktu yang lama untuk menikmatinya.
a. Bentuk Novel
Berkaitan dengan novel, dalam dunia kesastraan terdapat dua kategori mengenai novel yaitu
novel serius dan novel populer.
1)
Novel
Serius
Novel serius biasanya berusaha
mengungkapkan sesuatu yang baru dengan
cara pengucapan yang baru pula (Nurgiyantoro, 1998: 20). Maksud utama sebuah
karya fiksi (novel) serius adalah memungkinkan pembaca membayangkan sekaligus
memahami satu pengalaman manusia (Stanton ,
2007: 6). Sehingga Novel serius hadir dalam wujud baru untuk menampilkan suatu
pengalaman manusia.
2)
Novel Populer
Novel populer adalah novel yang popular pada masanya
dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja (Nurgiantoro,
1998: 18). Karya jenis fiksi (novel) ini tidak akan mengulas keragaman yang ada
dalam hidup. Meski kerap mendasarkan kisahnya pada kejadian nyata, fiksi
popular (novel) tidak lebih sekedar tiruan dari apa yang telah diciptakan oleh
pengarang lain (Stanton ,
2007: 16). Dari paparan pendapat di atas dapt disimpulkan bahwa novel popular
merupakan karya yang populer pada masa-masa tertentu yang bersandarkan pada
karya lain.
b.
Unsur-unsur Pembangun Novel
Untuk memahami karya sastra, diperlukan pemahaman
terhadap unsur-unsur yang ada dalam karya sastra. Unsur-unsur yang terdapat
dalam karya tidak akan menimbulkan nilai guna, jika unsur-unsur tersebut
berdiri sendiri dan tidak saling berkaitan. Tiap-tiap bagian akan menjadi
berarti apabila terdapat hubungan antara bagian yang satu dengan lainnya, serta
bagaimana sumbangannya terhadap keseluruhan teks sastra yang tercipta.
Unsur-unsur pembangun karya novel terdapat dua,
yaitu unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik. Secara sederhana, Unsur ekstrinsik
adalah semua unsur-unsur yang berada diluar karya sastra, tetapi secara
tidak langsung mempengaruhi karya sastra
(Nurgiyantoro, 1998: 23). Unsur ekstrinsik meliputi hubungan karya
sastra dengan religi, politik, sosiologi, psikologi, sejarah dan sebagainya.
Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya
sastra dari dalam karya sastra itu sendiri (Nurgiyantoro, 1998: 23). Unsur
intrinsik terdiri dari tema, tokoh dan penokohan, plot (alur cerita), setting
(pelataran), sudut pandang (point of view),
style (gaya ), pesan (amanat) (Kasnadi & Sutejo,
2010: 6).
1)
Tema
Tema dalam sebuah karya sastra, merupakan salah satu
dari sejumlah unsur pembangun cerita yang secara bersama membentuk keseluruhan
sebuah cerita. Unsur-usur intrinsik dalam karya sastra akan bermakna jika
diikat oleh sebuah tema.
Istilah tema menurut Charbach berasal dari bahasa
Latin yang berarti tempat meletakkan suatu perangkat karena tema adalah ide
yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal pengarang
dalam memaparkan karya yang diciptakannya (Aminuddin, 1995: 91).
Tema adalah makna sebuah cerita yang secara khusus
menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana. Tema dapat
bersinonim dengan ide utama (central idea)
dan tujuan utama (central purpose) ( Nurgiyantoro, 1998: 70).
Dalam Dictionary
of World Literature, tema diartikan sebagai subjek wacana, topik umum, atau
masalah utama yang dituangkan ke dalam cerita (Nurgiyantoro, 1998: 80).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa, tema pada
hakikatnya merupakan gagasan dasar dalam karya sastra yang digunakan pengarang
untuk mengembangkan cerita.
2)
Tokoh dan Penokohan
Peristiwa dalam karya sastra selalu diperankan oleh
tokoh atau pelaku-pelaku tertentu. Pelaku yang memerankan peristiwa dalam
cerita disebut tokoh (Aminuddin, 1995: 79).
Tokoh cerita (character),
menurut Abrams dalam (Nurgiyantoro, 1998: 165). adalah orang-orang yang
ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan
memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan
dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
Tokoh dalam novel selain berfungsi untuk memainkan
cerita, juga berperan untuk menyampaikan ide, motif, plot, dan tema yang
diangkat oleh pengarangnya. Konflik yang terjadi dalam suatu cerita tidak
terlepas dari peran dan karakter para tokohnya (Kasnadi & Sutejo, 2010:
16).
Seorang tokoh yang memiliki peranan penting dalam
suatu cerita disebut dengan tokoh inti atau tokoh utama. Sedangkan tokoh yang
memiliki peranan tidak penting karena pemunculannya hanya melengkapi, melayani,
mendukung pelaku utaam disebut tokoh tambahan atau tokoh pembantu.
Penokohan dan karakterisasi sering juga disamakan
juga artinya dengan karakter dan perwatakan yang menunjuk pada tokoh-tokoh
tertentu. Menurut Jones, penokohan dalah pelukisan gambaran yang jelas tentang
seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 1998: 165).
Penokohan merujuk pada apa yang disebut dengan karakter atau perwatakan
tokohnya (Kasnadi dan Sutejo, 2010: 12)
Jadi dapat disimpulkan bahwa keberadaan tokoh dan
penokohan atau perwatakan para tokoh tidak dapat dipisahkan, keduanya saling
mengisi dan melengkapi sehingga terwujud suatu cerita yang utuh yang
diperankan.
3) Alur Cerita/ Plot
Untuk menyebut plot, secara tradisional,
orang juga sering mempergunakan istilah alur atau jalannya cerita, sedangkan
dalam teori-teori yang berkembanng dikenal adanya istilah struktur naratif,
susunan, dan sujet (Nurgiantoro,
1998: 110) Pengertian alur dalam novel
pada umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan
peritiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam
suatu cerita (Aminuddin, 1995: 83). Alur merupakan tulang punggung cerita (Stanton , 2007: 28). Alur
atau jalannya cerita dapat diartikan sebagai tahapan-tahapan rangkaian cerita
yang merupakan unsur yang terpenting dalam sebuah novel.
4) Latar /Setting
Menurut Abrams dalam (Nurgiyantoro, 1998: 216) pengertian setting/ latar adalah tempat,
hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa
yang diceritakan. Latar juga dikatakan Robert Stanton sebagai lingkungan yang
melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan
peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung (2007: 35). Dari beberapa pandangan
mengenai latar tersebut dapat diambil kesimpulan, latar sebagi tempat
terjadinya peristiwa-peristiwa yang terkait dalam cerita sebuah karya sastra
khusunya novel.
5)
Sudut Pandang/ Point of View
Sudut pandang (point
of view) merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai
sarana dalam menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang
membantuk cerita dalam sebuah karya fiksi (Kasnadi dan Sutejo, 2010: 22).
Stevick menyebutkan bahwa sudut pandang dapat disamaartikan dengan istilah
pusat pengisahan (focus of narration).
Sedangkan menurut Genette, sudut pandang
diistilahkan fokalisasi (focalization),
yang lebih dekat berhubungan dengan pengisahan (Nurgiyantoro, 1998: 249).
6) Gaya/Style
Dalam sastra, gaya
adalah cara pandang dalam menggunakan bahasa (Stanton , 2007: 61). Sesuai pendapat Abram
dalam Kasnadi dan Sutejo, style atau gaya bahasa terdiri dari
unsure fonologi, sintaksis, leksikal, dan retorika, yang berupa karakteristik
penggunaan bahasa figuratis, pencitraan, dan sebagainya (2010: 25). Style, atau wujud performasian kebahasaan, hadir kepada pembaca dalam sebuah
fiksi melalui proses penyeleksian dari berbagai bentuk linguistik yang berlaku
dalam system bahasa itu (Nurgiantoro, 1998: 279). Dengan demikian,
bermacam-macam bentuk style atau gaya bahsa yang digunakan
oleh pengarang sesuai dengan tujuan atau sasaran dari sebuah karya sastra.
7)
Pesan/ Amanat
Melalui cerita, sikap dan tingkah laku
tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral
yang disampaikan atau diamanatkan (Nurgiantoro, 1998: 321). Pesan ini dalam
kajiannya dapat berupa, pesan moral yang disampaikan, pesan relegiusitas, nilai kritik sosial, dan nilai pesan lainya
seperti nilai kekeluargaan, pendidikan, adat, dan sebagainya ( Kasnadi dan Sutejo: 29).
4.
Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra berasal dari kata
soiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari akar kata sosio (masyarakat) dan logos (ilmu).
Sastra berasal dari akar kata sas
(mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan instruksi). Akhiran tra yang berarti alat, sarana (Ratna,
2009: 1). Pengarang sebagai seorang zender
(pengirim pesan) akan menyampaikan berita zaman lewat cermin dalam teks
kepada ontvanger (penerima pesan)
berati bahwa karya sastra sekaligus merupakan alat komunikasi (Endraswara,
2011: 89). Sehingga sosiologi sastra merupkan ilmu yang berkaitan dengan kemasyarakatan yang ada dalam sebuah karya
sastra sebagai alat penyampaian pesan atau komunikasi antara pengarang dan
pemabaca
Sosiologi satra adalah cabang penelitian sastra yang
bersifat reflektif. Kehidupan sosial akan menjadi pemicu lahirnya karya satra.
Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu merefleksikan zamannya
(Endraswara, 2011: 77). Sosiologi berusaha mencari tahu bagaimana masyarakat
itu ada, bagaimana mereka berlangsung. Melalui sosiologi dapat diperoleh
penjelasan utuh dan menyeluruh dari sisi-sisi masyarakat lengkap dengan pernik
dan detail yang menyertainya.
Rene Wellek dan Austin Werren menyatakan sosiologi
satra yaitu mengkaitkan sastra dengan
situasi tertentu, atau dengan system politik, ekonomi dan sosial tertentu.
Penelitian dilakukan untuk menjabarkan pengaruh masyarakat terhadap sastra dan
kedudukan sastra dalam masyarakat (1990: 110). Ditegaskan pula oleh Sutejo dan
Kasnadi, bahwa sosiologi merupakan ilmu yang mengkaji segala aspek kehidupan
sosial manusia, yang meliputi masalah perekonomian, politik, keagamaan,
kebudayaan, pendidikan, ideologi dan aspek yang lain (2010: 56). Sehingga,
tujuan sosiologi sastra adalah meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam
kaitannya dengan masyarakat, menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan
kenyataan (Ratna, 2009: 11).
Menurut Rene Wellek dan Austin Werren (1990: 111)
mengklasifikasikan sosiologi sastra
sebagai berikut:
a.
Sosiologi Pengarang
Masalah yang berkaita denga sosiologi
pengarang adalah jenis kelamin pengarang, umur pengarang, tempat kelahiran
pengarang, status pengarng, profesi pengarang, ideologi pengarang, latar
belakang pengarang, ekonomi pengarang, agama dan keyakinan pengarang, tempat
tinggal pengarang, dan kesenangan pengarang (Sutejo dan Kasnadi, 2010: 59).
b.
Sosiologi Karya Sastra
Masalah yang berkaitan dengan sosiologi
karya satra adalah isi karya sastra tujuan karya satra, dan hal-halyang
tersirat dalam karya sastra dan yang berkaitan dengan masalah sosial.
c.
Sosiologi Pembaca
Masalah yang berkaitan dengan sosiologi
pembaca ini adalah masalah pembaca dan dampak sosial karya satra terhadap
masyarakatnya. Menurut Sutejo dan Kasnadi dalam kaitannya sosiologi pembaca ini
dapat dikaji dari jenis kelamin pembaca, umur pembaca, pekerjaan pembaca,
kegemaran pembaca, status soail pembaca, profesi pembaca, dan tendensi pembaca
(2010: 59).
Berdasarkan uraian di atas, penelitian
ini mengacu pada pendapat Rene Wellek dan Austin Werren yang kedua, yaitu
sosiologi sastra yang mempermasalahkan tentang karya sastra itu sendiri.
5. Pendekatan Sosiobudaya
Sesuai teori Taine yang dikemukakan
Junus dalam (Endraswara, 2011: 94), bahwa karya sastra memang dapat dipengaruhi
oleh kondisi sosiobudaya masyarakat, yaitu ras, waktu, dan lingkungan. Dengan demikian, suatu karya
sastra yang lahir akan terpengaruhi oleh
tingkat golongan masyarat tertentu sesuai kondisi pengarang itu sendiri.
Asumsi dasar kajian sosiobudaya berasal dari
Grebstein yang ditegaskan oleh Damono dalam (Endraswara, 2011: 92), bahwa:
a.
Karya sastra
tidak dapat dipahami selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan
atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya.
b.
Gagasan yang ada
dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk dan teknik penulisannya,
bahkan boleh dikataka bahwa bentuk dan teknik itu ditentukan oleh gagasan
tersebut.
c.
Setiap karya
sastra yang bisa bertahan lama, pada hakikatnya suatu moral, baik dalam
hubungannya dengan kebudayaan sumbernya maupun dalam hubungannya dengan
orang-seorang.
d.
Masyarakat dapat
mendekati karya sastra dari dua arah: pertama, sebagai suatu kekuatan atau
faktor material istimewa, dan kedua, sebagai tradisi-yakni
kecendrungan-kecendrungan spiritual maupun cultural yang bersifat kolektif.
e.
Kritik sastra
seharusnya lebih dari sekedar perenungan estetis yang tanpa pamrih, ia harus
melibatkan diri sendiri dalam suatu tujuan tertentu.
f.
Kritikus
bertanggung jawab baik kepada sastra masa silam maupun masa datang.
Dari asumsi demikian yang tampak bahwa
penelitian sosiologi sastra yang lengkap, seharusnya terkait dengan latar
belakang sosiokultural masyarakat. Serta sebagai pendekatan yang mengungkapkan
aspek sastra dengan refleksi dokumen sosiobudaya (Endraswara,2011: 93).
Sehingga pendekatan ini, hanya mengungkap persoalan kemampuan karya sastra
mencatat sosiobudaya masyarakat tertentu.
6.
Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Jawa
Setiap
kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat yang berwujud sebagai komunitas
desa, atau kota, atau sebagai kelompok adat yang lain, bisa menampilkan suatu
corak yang khas (Fathoni, 2006: 46). Kebudayaan merupakan sesuatu yang sudah
menjadi kebiasaan yang susah untuk diubah. Kehidupan sosial budaya Jawa sangat
erat dengan kehidupan masyarakat Jawa terutama pada masyarakat Jawa yang hidup
di pedesaan (Kasnadi dan Sutejo, 2010: 107). Tradisi yang masih bercirikhas
kehidupan tradisional yang sangat kental dengan alam. Kemajuan ilmu dan teknologi
yang terhambat oleh sumber daya manusia, membuat kehidupan di pedesaan maupun
di pegunungan masih jauh dari kemodernisasian.
Keberadaan
hidup orang Jawa, tidak lepas dari kehidupan sosial dan budaya orang Jawa yang
memiliki corak dan ragam. Sedang kehidupan sosial dan kebudayaan orang Jawa
sendiri dilatarbelakangi oleh sisa kebiasaan hidup pada zaman sebelumya (Yana,
2010: 11). Sedangakan kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa dalam membina
keluarga dengan tata aturan menurut hukum adat yang berlaku dapat berupa (Yana,
2010: 13-14):
a.
Rumah
Tangga dan Keluarga Inti
Perjalanan hidup manusia
akan mengalami perputaran dan beralih peran. Seorang yang telah berusia remaja,
antara pria dan wanita akan menikah untuk membina keluarga. Biasanya untuk pertama
kalinya, keduanya masih hidup menetap dan bergantung pada orang tua. Namun
selang beberapa waktu, mereka harus hidup terpisah untuk mempersiapkan
kehadiran seorang anak.
b.
Keinginan
Orang Jawa untuk Mempunyai Anak
Bagi keluarga orang desa maupun keluarga orang
kota , mempunyai
anak adalah sesuatu yang sangat didambakan. Orang Jawa menganggap bahwa anak
dapat memberikan suasana hangat di dalam keluarga, dan suasana hangat itu juga
menyebabkan keadaan damai dan tenteram dalam hati.
c.
Adat Memberi Nama
Orang Jawa pada umumnya tidak tahu mengenai
upacara pemberian nama. Kebanyakan keluarga memberi nama pada bayi pada saat ia
lahir, yang disertai dengan upacara slametan
brokohan. Anak Jawa selalu dipanggil dengan nama panggilan, yang sering
beubah-ubah selama ia masih anak-anak. Nama baru menjadi penting apabila ia kelak
menjadi dewasa.
d.
Pertumbuhan
Anak dalam Keluarga
Orang yang pertama dan utama adalah
ibu, orang yang selalu dilihatnya pada saat ia bangun di pagi hari,
menggendongnya dengan selendang, menyusui, mengajak berbicara atau menyanyi
lagu-lagu untuk sampai tidur. Sedangkan ayah adalah orang yanag kedua, yang
mungkin hanya akan ditemuinya pada waktu-waktu tertentu saja.
Di dalam keluargalah seorang anak
dikenalkan berbagai aturan, norma, dan nilai-nilai yang baik. Seorang anak dari
keluarga bertata kramabaik akan bertata karma baik pula, dan begitu sebaliknya
(Yana, 2010: 138).
7.
Kehidupan Orang Jawa Selalu Identik dengan Dunia Mistik.
Selain dalam membina keluarga, kehidupan
orang Jawa selalu identik denga dunia mistik. Mistik merupakan keyakinan hidup
orang Jawa yang telah lahir turun
tumurun dari gnerasi ke generasi( Yana , 2010:
25). Sebagian orang Jawa masih percaya adanya setan atau hantu yang megganggu
manusia. Itulah sebabnya pada saat melakukan perjalanan ke manapun hendaknya
berhati-hati, apalagi melewati hutan yang dianggap wingit atau angker (Enndraswara,
2010: 3). Dengan demikian masyarakat Jawa masih kental dengan dunia mistik,
semua lakunya atau tindak tanduknya masih menggunakan perhitungan yang pada
intinya hanya ingin kehidupannya selamat.
Dunia mistik identik dengan orang Jawa.
Tidak heran, kalau banyak buku, majalah, dan tanyangan televisi yang berbaur
sihir, ilmu hitam, atau berbagai kejadian aneh. Dunia mistik orang Jawa merupakan
salah satu dunia mistik yang unik. Bukan karena prakteknya saja yang menembus
alam bawah sadar manusia. Namun juga keterlibatannya dalam mengawal sejarah
bangsa. Seiring kemajuan jaman dan
kemodernisasi, mistik tetap dipakai dalam pewujudan suatu tujuan.
B.
Kerangka Pikir Penelitian
Penulisan karya sastra
merupakan penyampaian ide dan gagasan pengarang, demikian juga dengan novel.
Ide dan gagasan pengarang berdasarkan imajinasi maupun pemikiran yang terjadi
disekitarnya. Penyampaian ide melalui kejadian, konflik maupun watak yang
dimunculkan dalam tokoh ciptaan.
Penelitian ini dengan
menggunakan pendekatan sosiologis sastra untuk mengetahui aspek sosial budaya
Jawa dalam novel Lanang karya
Yonathan Raharjo. Novel Lanang karya Yonathan Raharjo merupakan
karya sastra yang sangat kental dengan budaya Jawa . Novel pembangun jiwa yang
di dalamnya terkandung ajaran yang terbungkus rapi tanpa meninggalkan segi
keestetikaannya. Kisah dokter Lanang yang yang rumit dikemas dengan kevulgaran
dan keerotisan. Kebudayaa Jawa yang terdalam sebagai alat memecahkan segala
permasalahan dikemas secara rapi, dengan ajaran-ajaran moral. Dengan pendekatan
sosiologi sastra yang didalamnya terdapat pendekatan sosiobudaya, diharapakan
terdapat aspek sosial budaya yang dapat ditarik dari sudut pandang budaya Jawa.
Budaya Jawa yang memfokuskan
kepada keluarga dan kebiasan dunia mistik yang selalu menyelimuti langkah
masyarakat Jawa, dengan pemcaan yang serius ataupun pemahaman terhadap teks
karya sastra akan jelas keberadaannya.
METODE
PENELITIAN
A.
Desain Penelitian
Pendekatan
dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Peneliti mendeskripsikan
secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan hubungan kausal
fenomena yang diteliti. Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data
ilmiah, data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya (Ratna, 2010: 47).
Penelitian
ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi, mendeskripsikan, dan menganalisis aspek
sosial budaya Jawa dalam Novel Lanang KaryaYonathan Rahardjo.
Penelitian
ini didasarkan atas beberapa pertimbangan sebagai berikut:
1. Fokus
penelitian ini adalah aspek sosial budya Jawa yang terkandung dalam Novel Lanang KaryaYonathan
Rahardjo.
2. Kajian
nilai tersebut dimaksudkan untuk mengungkap, memilah, dan menarik simpulan
makna aspek sosial budaya Jawa dalam Novel Lanang KaryaYonathan Rahardjo.
3. Kajian
penelitian ini dimaksudkan tidak untuk menguji suatu teori, melainkan mengumpulkan data berupa
deskripsi atau kalimat-kalimat dalam dalam Novel Lanang KaryaYonathan Rahardjo.
29
|
B. Objek
Penelitian
Objek
adalah unsur-unsur yang bersama-sama dengan sasar penelitian, kata dan konteks
data. Objek penelitian berupa individu, benda, bahasa, karya sastra, budaya dan
sebagainya. Objek penelitian ini adalah kehidupan aspek sosial budaya Jawa
dalam Novel Lanang
KaryaYonathan Rahardjo. Dalam
penelitian ini aspek sosial budaya Jawa menitik beratkan kepada (a) kehidupan sosial budaya masyarakat
Jawa dalam membina keluarga dengan tata aturan menurut hukum adat yang berlaku,
dan (b) kehidupan orang Jawa yang selalu identik dengan dunia mistik.
Sumber
data dalam penelitian ini adalah Novel Lanang, sebuah novel tentang kemajuan dalam dunia kedokteran hewan,
yang dikarang oleh Yonathan Rahardjo, dan diterbitkan oleh Pustaka Alvabet pada tahun 2008 cetakan
pertama. Sampul buku berwarna hitam yang dipadukan warna coklat dan
kuning. Bergambar seorang laki-laki di bawah pohon dan sedang menatap bulan
purnama di atas pegunungan. Tulisan judul berwarna kuning dengan Ukuran buku 12,5 x 20 cm dan Tebal
buku 440 halaman.
Novel Lanang
mengangkat kisah kemanusiaan dokter hewan dan seluk-beluknya secara rinci,
gamblang dan imajinatif dalam menyelidiki misteri kematian hewan dalam jumlah
besar, yang memengaruhi hajat hidup masyarakat dan bangsa.
Jatuh bangunnya dokter
hewan Lanang dalam menyelidiki kasus
penyakit penyebab kematian hewan itu merupakan cermin apa yang sesungguhnya
terjadi di bidang kedokteran hewan dan peternakan di tanah air, dengan
menggunakan dasar ilmiah dan dikembangkan sebagai fiksi dengan berbagai kemungkinan yang bisa
terjadi.
C. Teknik Kajian
1. Teknik Pengumpulan Data
Secara umum teknik
pengumpulan data dalam penelitian kualitataf Maershall dan Rossman dalam ( Prastowo,
2010: 21) teknik pengumpulan data terdiri dari berpartisipasi di lapangan,
pengamatan secara langsung, wawancara mendalam, dan analisis dokumen serta
materi budaya. Teknik yang digunakan penulis untuk mengumpulkan berbagai sumber
data dalam penelitian kali ini adalah metode dokumentasi (documentation research methode). Model dokumentasi yaitu model
penelitian dengan mencari data mengenai hal-hal atau variabel berupa, buku-buku
ynag berkaitan dengan judul penelitian dan website yang berhubungan dengan
judul penelitian , diharapkan terkumpulnya dokumen atau berkas untuk melengkapi
seluruh unit kajian data yang akan diteliti dan dianalisis lebih lanjut.
Dalam penelitian
ini, penulis mengkaji aspek sosial budaya Jawa dalam Novel
Lanang KaryaYonathan Rahardjo. Teknik pengumpulan data atau penyediaan dilakukan dalam penelitian ini
adalah teknik pustaka, membaca dan catat. Teknik pustaka yaitu mempergunakan
sumber-sumber tertulis yang digunakan dipilih sesuai dengan masalah dan tujuan
pengkajian sastra, dalam hal ini ditinjau dari segi sosiologi sastra.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan
untuk teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Membaca keseluruhan teks novel Lanang karya Yonathan Rahardjo
b. Memindai teks yang sesuai dengan permasalahan
yang diangkat, yaitu kehidupan
sosial budaya masyarakat Jawa dalam membina keluarga dengan tata aturan menurut
hukum adat yang berlaku dan kehidupan orang Jawa yang selalu identik
dengan dunia mistik.
c. Mengkelompokkan atau menandai teks
dengan penanda yang berbeda agar mudah untuk membedakannya.
2. Teknik Analisis
Data
Proses menganalisis data
yaitu penulis menggunakan metode deskriptif analisis. Metode tersebut terdiri
dari dua kegiatan,yaitu penyajian data dan penarikan kesimpulan/verifikasi.
Sesuai dengan pendekatan
sosiologi sastra, langkah yang bisa ditempuh menurut Junus dalam (Endraswara,
2010: 93) sebagai berikut:
a.
Unsur sastra
diambil terlepas dari unsure lain, kemudian dihubungkan dengan suatu unsur
sosiobudaya.
b.
Mengambil image atau citra tentang “sesuatu” dalam
suatu karya sastra.
c.
Mengmbil motif
atau tema yang keduanya berbeda secara gradual
Sebagaimana metode
kualitatif dasar dari metode analisis adalah penafsiran (Ratna, 2010: 49). Dari
uraian di atas maka analisis pada penelitian ini adalah mengkaitkan aspek
budaya Jawa terhadap aspek budaya Jawa yang ada dalam novel Lanang karya Yonathan Rahardjo, dengan
penafsiran data yang telah didapat akan terlihat aspek budaya Jawa yang ada
dalam novel tersebut.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan
untuk teknik analisis data sebagai berikut:
a. Menyeleksi
Menyeleksi teks novel Lanang yang sesuai dengan objek
penelitian yaitu; (a) kehidupan
sosial budaya masyarakat Jawa dalam membina keluarga dengan tata aturan menurut
hukum adat yang berlaku, dan (b) kehidupan orang Jawa yang selalu
identik dengan dunia mistik.
b. Mengklasifikasi
Menggolongkan teks yang
sudah diseleksi sesuai dengan objek penelitian yaitu; (a) kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa dalam
membina keluarga dengan tata aturan menurut hukum adat yang berlaku, dan
(b) kehidupan orang Jawa yang selalu identik dengan dunia mistik.
c. Menafsirkan
Menjelaskan teks yang sudah
diklasifikasi sesuai dengan objek penelitian yaitu; (a) kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa dalam
membina keluarga dengan tata aturan menurut hukum adat yang berlaku, dan
(b) kehidupan orang Jawa yang selalu identik dengan dunia mistik.
d. Memaknai
Mengartikan maksud teks
yang sesuai dengan objek penelitian yaitu; (a) kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa dalam membina keluarga dengan tata
aturan menurut hukum adat yang berlaku, dan (b) kehidupan orang Jawa
yang selalu identik dengan dunia mistik dari penulis atau pengarang.
e. Mengambil
kesimpulan.
Mengambil keputusan dari
proses menafsirkan dan memaknai teks yang sesuai dengan objek penelitian yaitu;
(a) kehidupan sosial budaya
masyarakat Jawa dalam membina keluarga dengan tata aturan menurut hukum adat
yang berlaku, dan (b) kehidupan orang Jawa yang selalu identik dengan
dunia mistik sebagai pendapat akhir peneliti.
Dalam hal ini
penelititi mendiskripsikan objek penelitian yaitu secara induktif.
Penarikan kesimpulan berdasarkan keadaan yang khusus untuk diperlakukan secara
umum.
No comments:
Post a Comment