Friday 11 March 2011

Orek-orekan...


“Tempat Mengaji yang Hilang”
Pagi yang cerah, suara kicau burung kutilang di pohon sawo dekat sawah asyik memakan buah sawo yang agak mentah. Terdengar sangat merdu nan sahdu, seakan-akan mengusik ketenangan di balik langit biru. Awan yang hitam tipis menyelimuti desa yang sangat sunyi  dihiasi pohon-pohon kayu manis. Burung-burung berterbangan kesana kemari tak merasa dibebani. Berantusias mencari isi perut yang sangat mengusik ketenangan mereka.
Terlihat di ujung jalan segrombolan burung kutilang yang asyik memakan buah sawo matang, sesekali  bersiul menyapa cerahnya sinar sang mentari pagi menyimuti keindahan alam pertiwi. Burung-burung terbang ketika Mi’un berjalan menuju rumah, pohon sawo yang miring menjulur ke tanah yang semasa kecil merupakan tempat bermainnya.
  Bu masak apa ni?” tanya Mi’un sambil memotong tempe. ”Ini lo le buat makanan dibawa ke masjid, kan ini tadi muludan to?” jawab ibunya Mi’un sambil menanak nasi. Mi’un tiba-tiba mendekat ke tempat api yang menyala untuk menghangatkan badan. “O iya Bu, aku kok lupa! Seperti tahun-tahun kemarim to Bu ,para remaja diikutkan semuanya to?” tanya Mi’un yang sesekali memasukkan kayu bakar ke tungku. “Seharusnya gitu, tapi anak muda sekarang mana mau mengikuti acara gituan, senangnya kan cuman lihat dangdut terus jogetan ujung-ujungnya mabuk buat keributan”. Masjid yang dulu dianggap sakral sekarang dicuwekin begitu aja, hanya seglintir orang-orang tua yang mau datang dan meramaikannya.
Mi’un yang baru datang dari kota tempat ia kuliah, melepaskan kerinduan di desanya. Tanpa memakai alas kaki lari-lari kecil menylusuri jalan setapak yang masih makadam belum diaspal. Sesekali berhenti menyapa orang-orang yang dilewatinya, dan mengamati perubahan bentuk fisik bangunan disekitar desanya. “Gong…!” Mi’un sambil memegang bahu bagong. “Lo  kamu to mas kapan pulangnya ?” Bagong yang asik bermain dengan adik kecilnya tersentak kaget ketika dipegang bahunya oleh Mi’un dari belakang dengan keras. “ O tadi malem, eh mushola tempat kita ngaji dulu kemana kok tidak ada, kok cuman pondasinya doang?” tanya  Mi’un keheranan. “Kamu sih jarang pulang gak pernah mengunjungi tempat kita ngaji dulu, ya.. kayak gitu sekarang hilang gak ada muridnya terus gak ada yang mengurusi, semua sibuk mencari uang buat hidup”.
Bagong sambil duduk dengan Mi’un, kemudian menceritakan bahwa masyarakat sudah tidak lagi mempercayai mereka dan anak-anak kecil di sini diasuh dan diajari ngaji ilmu agama oleh pak Ahmat yang sangat alim. Mushola tempat ngajinya dulu sekarang sudah terbengkalai dan hanya digunakan oleh keluarga pak Taufik, sudah bukan rahasia lagi waktu dibongkarnya banyak konterversi di masyarakar. Dari pihak pak Taufik sendiri mushola itu masih mengaku milik masyarakat.  Masyarakat tidak mau mengakuinya dan alhasil semua masyarakat sepakat membuat mushola baru untuk  kegiatan agama di lingkungan sekaligus buat untuk  mengajari anak-anak kecil. Karena keluarga pemilik mushola jarang mengikuti acara ke agamaan yang diadakan lingkungan, maka banyak yang menganggap mereka orang-orang priyai yang gak mau berbaur dengan masyrakat. Mereka ingin mendirikan pondok pesantren namun Tuhan belum mengijinkan.
Mi’un mendengar cerita dari Bagong terlihat mukanya kusam. Tempat pertamakali mencari ilmunya kini tinggal nama saja dan kenangan belaka. “Ah itu dulu roda terus berputar kadang di atas kadang di bawah”, keluh Mi’un.
Sang mentari perlahan merayap ke atas melaksanakan tugas rutinitas. Sinar sang mentari mulai kelihatan, Mi’un segera pulang teringat acara muludan di Masjid akan dimulai. Dengan semangat ingin mengulangi semasa kecilnya Mi’un bergegas menuju sumur yang sudah tua masih memakai kerean dengan memakai karet ban yang panjang. Terdengar suara “krek...krek... krek” ketika Mi’un menimba air sumur yang berkedalaman tujuh meter dan berdiameter dua meter. Sumur yang merupakan umurnya   jauh lebih tua dari umur Mi’un, kini masih digunakan oleh keluarganya.
“Ayo Ta… kita berangkat ke masjid, cepat keburu ketinggalan” ajakan Mi’un kepada adiknya. La bapak mana lo mas ..?”. “Tu masih pakek sarung, yuk kita berangkat bersama-sama..!” ajakan Mi’un. Di jalan  terlihat teman-teman Dita bersepeda riang kesana kemari menikmati liburan sekolah. “Lo…lo… gimana ini nasi kendurinya ketinggalan , wah susah-susah buatnya gak di bawa to?” teriak ibu dari dapur. Oaaiya  Bu kelupaan ..Dita kok diam aja sih.. gak bilang” lanjut Mi’un.
Nasi kenduri yang terisi makanan yang khas, ada nasi kuning, kentang yang digoreng, kering yang terbuat dari tempe diirisi tipis-tipis, dan tak terlewatkan telor mata sapi. Semua dibungkus rapi dari daun pisang ditempatkan diatas pelepah daun piasang yang sudah dikasih anyaman bambu.  Semua nasi tersebut dikumpulkan jadi satu di serambi masjid, dibagikan setelah acara selesai.
Acara segera dimulai ketika semua jamaah masjid kumpul, acara sangat berjalan lancar dan meriah .Alunan rebana khas di bunyikan untuk mengiringi syair-syir shalawat nabi yang lirik lagunya tidak ketinggalan jaman. Sesekali Mi’un ikut melantunkan  syair-syair, yang diyakini ketika shalawat dikumandangkan seaka-akan  Kanjeng Nabi Muhammad Saw datang ditengah-tengah mereka. Suara-suara lantunan lagunya sangat menyentuh hati, tapi bagi Mi’un ada sesuatu yang mengganjal dipikirannya. Mi’un teringat ketika masa-masa kecil biasanya sebelumnya acara seperti ini di mushola malam harinya diadakan juga. Teringatnya teman-teman yang masih mungil-mungil belum mengenal dosa terlihat menghayatinya dan bersaing melirikkan lagu-lagu yang baru. Mushola yang tidak terlalu besar, akan tetapi terlihat luas dan kompleks ilmu agamanya. Anak-anak yang berjumlah sekitar dua puluh ditambah pak Rojak bersemangat menyambut hari kelahiran Nabi Muhambad SAW. Mi’un yang sering memgang bass dan sambil menjadi vokalisnya. Teman-teman yang lainnya mengikuti alunan syair-syair yang dibawakan Mi’un, kadang memberikan usulan lirik lagu-lagu yang sesuai masanya dari campur sari sampai lagu-lagu pop maupu dangdut. Apalagi pak Taufik sangat lihai memainkan rebananya dan mengotak-atik syair-syair tersebut. Semua kemaun teman-teman dilayaninya dengan senang hati, diharapkan lantunan syalawat tidak punah dan mlahan bisa berbaur dengan kemajuan ilmu dan tegnologi.
Dengan jumlah dua puluh anak, yang sepuluh memainkan rebana yang selainnya memainkan tari-tarian yang khas. Dengan struktur sepuluh pemain rebana berjajar di belakang, di dipannya berbaris lima anak yang saling berpasangan. Tarian yang mengutamakan ketrampilan tangan terlihat sangat menarik apabila semuanya kompak, ditambah permainan bunyi tepuk tangan yang sudah diatur sehingga meimbulkan nada yang sangat menarik. Apabiala dari salah satu dari mereka yang memerankan peran salah, yang lain memarahi sambil menjenggungi kepalanya.
Lantuna syair sudah selesai mereka terliahat semangat, sebab dari jajanan maupu minuman yang sudah di siapkan istrinya pak Taufik waktunya menyantap. Lem yang terlihat di mata mereka sekejab hanyaut ketika secangkir teh hangat dihirup mereka  
 Wah pokoknya asyik deh”  keluh dalam hati.
Acara mauludan udah selesai acara yang ditungu-tunggu telah tiba, pembagian nasi kenduri telah dimulai. Mi’un memakan lahap hidangan yang telah disajikan, mengeskpresikan kerinduan terhadap masakan desa, “maklum di kota suasana seperti ini jarang ditemuinya” kata Mi’un sambil mengunyah makanaan ketika ditanyai orang didekatnya. Orang yang disampingnya adalah oseorang tua yang diakrapinya sejak dulu sebut saja mbah Kun. “Mbah ena ya…? juwarang lo mbah aku di kota menemukan makanan kayak gini”. Masakan yang masih murni dari tangan-tangan ibu- ibu desa yang ketika membuatnya penuh dengan setuhan-sentuhan lembut. Semua lauk-pauknya seragram dan mempunyai nilai tersendiri, ibu- ibu tidak mau mengganti menu makanan-makan yang lain, disebabkan mempunyai berkah tersendiri.
Sambil makan, mbah Kun menceritakan tentang mushola tempat ngaji Mi`un  sekarang yang sudah berubah. Pak Taufik yang merupakan pemegang mushola menginginkan musholanya dijadikan tempat pendidikan yang pembangunannya menghabiskan uang ratusan juta. Proposal sudah sampai keman-mana baik  tokoh-tokoh politik,pengusaha, bupati maupun anggota DPR pusat. Dalam kenyataannya dalam proses pembangunannya sampai sekarang belum terwujud, malahan terbengkalai sepereti hanya pondasi yang terlihat. Sebetulnya masyarakat mendukung keinginan pak Taufik tapi, dana yang digunakan bercampur dengan uang-uang yang tidak jelas asal usulnya. Kenyataannya kemarin ada tim penyelidik datang kerumahnya Pak Tufik, menanyakan uang dari salah satu penjabat yang menyumbangkan dana untuk pembangunan, dana yang digulirkan sangat lumayan besar. Tidak masalah itu saja, pak Taufik sendiri terganjal utang bank yang cukup banyak, lebih tragisnya tempat pendidikan belum terwujd, malahan beliau membangun rumah bagian belakang. Masyarakat tidak menduga masalah yang ditanggung pak Taufik sebegitu besar dan harus diselesaikan.
“Mbah sepupunya pak Taufik yang dari  Arab Saudi itu dengar-dengar pulang?” tanya Mi’un sambil memegang telur mata sapi. “Ya betul dia pulang sudah sebulan yang lalu, denger-denger dia mau mbangun mushola yang sudah dirobahkan dijadikan masjid” jawab mbah Kun. “Ukh..ukh… ukh.. apa mbah? Masjid..? Masjid sebesar ini saja jarang yang mau mengisi, untuk apa mbah ?apa dia mau buat aliran sendiri?” tanya Mi’un sambil tersedak kaget tercengang.
Awan putih menggumpal di angkasa yang biru. Burung sriti menari-nari dipanasnya terik matahari. Terbang menembus panasnya siang, angin sepoi-sepoi menyapa sang panas, pohon-pohon gembira menari-nari tak merasa apa yang mereka cari. Sepasang burug kutilang hinggap di atas daun pisang, mereka asyik bercumbu riang, sesekali membelokkan kepala, sesekali diam merana. Kicauan merdu yang kencang membuat hawa panas berganti tenang.
Di  halaman rumah Mi’un yang rindang terhiasi pohon cemara yang tinngi, tampak segrombolan ayam asyik bermain debu sambil sesekali mencari mangsa untuk mengganjal perunya. Terlihat ayam betina membawa kecoak yang kemudian direbut oleh ayam-ayam kecil yang mungil.
Mi’un terlihat kelelahan di ruang tamu, terlihat sepasang sandal terbuat dari kayu yang terkenal disebut sandal bakiyak menemaninya dengan setia. Datanglah seorang wanita yang terlihat masih menawan aduh hai semasa mudanya menghampiri Mi’un yang sedang baca koran. “Ini le tehnya, ini sepesial buat kamu cucuku yang tersanyang” tawar nenek Mi’un. “Oi ya nek…” tiba –tiba nenek Mi’un memberi nasehat kepada Mi’un bahwa prinsip orang itu dengan logat jawa yang khasnya entek golek ra duwe utang sing penting gak ngapusi( kalau habis mencari, tidak puya uang pinjam  yang penting tidah membohongi) itulah pesannya kepada Mi’un untuk meng hadapi segala permasalahan yang ada.
Sang mentari lelah bekerja seharian, malam pun tiba, suasana yang ramai sekejap berubah sepi. Di ujung jalan, suasana di warung Mbok Rondo terlihat ramai sekali, terlihat para pembeli menikmati secangkir kopi pembuatan Mbok rondo yang masih berwajah berseri-seri. Mbok Rondo yang lama ditinggal suaminya kawin lagi, dan mempunya anak satu berumur tujuh tahun. Untuk mengisi kesepiaannyua di depan rumahnya dibuatnya warung penjualan jajanan sampai larut malam. Sesekali para pembeli bercanda dan megejeki mbok Rondo.  Waaaa…duh nomorya terbalik satu angka, wah gak bayaran ki...!” keluh salah satu pembeli sambil menghirup secangkir kopi . “Berapa- berapa nomor kamu…?” tiba-tiba Mbok rondo memotong pembicaraan. “Coba lihat ini Mbok 8396 tapi punyaku 8399, gilA ikiI..!” sudah aku rencana dari rumah tadi uang yang aku dapat untuk bayar daftar ulang anak yang masuk SMP, lah.. ternyata mleset!” keluh pembeli tadi. “Sabar kang itu masih bukan rizki kamu…!” sahut Mbok rondo. Tiba-tiba pak Taufik datang menanyakan nomor yang keluar hari ini. “Din gimana nomor yang aku kasih kemarin nyangkut gak..?” mbOten Mas, cuman geseh satu angka.


Puisi

"Awan" Oleh:  Kang Win Awan mulai menylimuti matahari Cahaya panas kian menghilang Bak sirna dalam ke Hirupikukan Tak ada awan, t...