Mobil Biru
Oleh
Erwin Purwanto
Pagi sedingin es menyelimuti kota
kecil yang mungil di lereng pegunungan. Kabut tebal kekar menahan hawa dingin yang
melinting. Pohon-pohon tertunduk berersimpuh malu di antara bebatuan yang diam
menahan beban. Dedaunan terpaku pilu membisu mencari tau. Angin tenang berjalan
menembus hati tak karuan, menerpa kejayaan yang penuh trik menuju kebahagiaan.
Di lereng pegunungan, terlihat desa yang bahagia. Kenikmatan hidup
dipenuhi dengan penyatuan diri dengan alam. Orang-orang bersukaria dengan hewan
dan dedaunan. Kehijauan menyatu terhadap kehidupan. Terlepas kemewahan yang
bergelamor dunia berkelap-kelip. Kenikmatan hidup menyatu seketika tatkala alam
dan manusia berbaur.
Angin tenang sekejap menjadi badai yang kencang nan girang. Bunga-bunga
desa berhamburan tercerai berai, tatkala pepohonan enggan berdiri kekar.
Dikala pagi itu, ketika aku meyapu
halaman depan, tiba-tiba ada mobil biru berhenti di depan rumah. Tanpa berpikir
panjang, aku lari masuk rumah mencari Ibuku. “Selamat pagi Yu?”
Tiba-tiba seorang laki-laki datang ke rumah. “Enjing Mas Nyoto,
monggo-monggo masuk mriki!” jawab Ibuku sambil membuka pintu depan. “Bagaimana
Yu kabarnya…?” Sahut Pak
Nyoto sambil duduk di kursi sambil sesekali menata dasi. “Sama seperti dulu,
tidak ada perubahan, ya Mas Nyoto lihat !,apalagi setelah meninggalnya Bang Jarot, ya seperti
ini…. ” keluh Ibuku.
Pak Nyoto kemudian menceritakan usahanya di kota yang berhasil membuka
sebuh kafe yang menyajikan minuman khas desa dikemas secara modern. Usaha yang
sejak remaja dibangunnya. Tak lupa menceritakan alasannya meninggalkan desa
kelahirannya demi merubah nasib. Kebenciannya terhadap kerbau-kerbau
kepunyaannya, yang menjadikan Pak Nyoto seakan-akan seperti budak hewan. “ha..ha…ha..” Pak Nyoto tertawa mengingat
masa lalunya. Ibuku dan Pak Nyoto sesekali tertawa terbahak-bahak terbayang
masa kanak-kanak dulu bermain sambil mengembala kerbau.
“Yu.. si Jum itu apa gak kamu suruh kerja di kota saja, ketimbang jadi
budaknya kerbau-kerbau itu…! dia kan gadis yang cantik, manis lagi” tawar
Pak Nyoto. “Ah.. Mas ki..iso-iso wae, ngrayu-ngrayunya…, seperti masa
pacaran kita dulu..hehehe..” sanggah Ibuku sambil tersenyum. Seketika pak
Nyoto tertawa “Ha..ha…ha…”
Sambil menyalakan rokok cerutunya Pak Nyoto menanyakan keberadaanku “ Si
Juminten ada di rumah Yu..? “Wonten,
Jum….Jum…. kilo dipanggil pak Nyoto”. Teriak Ibuku seketika. “Oalah Pak
Nyoto! Wah sudah jadi pengusaha di kota
ni. He..he.,he... ada lowongan gak pak?” Tanyaku sambil menyuguhkan kopi. Aku
langsung duduk di dekat Ibuku. Aku
mengeluhkan kehidupan di pegunungan yang sangat memilukan. Kehidupan yang jauh
dari kemajuan jaman. Hari-hari dipenuhi seribu dedaunan hijau yang harus diburu
untuk memenuhi tuntutan dunia yang maju. Akan tetapi sulit untuk dituju.
Kehadiran Pak Nyoto kerumah kami membawa angin segar
bagiku. “Gini Yu Tun, kedatangan saya kemari untuk menawari Juminten bekerja
menjadi marketing produk” . “Apa itu pak?” Aku kaget dan penasaran. “Sebagai penjual
produk, nanti gajinya lumayan gede. Kalau kamu ingin mebahagiakan Ibumu,
pasti bisa terwujud kalau kamu mau…!”
rayuan Pak Nyoto.
Mendengar karta marketing produk,
Akupun yang baru tamatan SMP satu tahun yang lalu, merasa pekerjaan yang
ditawarkan adalah pekerjaan yang menjanjikan dan pasti bergaji tinggi apalagi marketing
produk memakai bahasa Inggris. “pasti enak ni…”. “Kenapa Ndok
kamu tersenyum-tersenyum wae?” Tiba-tiba Ibuku memegang bahu serta memegang
rambuku. “Oalah Ibu aku kok sudah kebayang to” sahutku. “Gimana Jum?”
Tanya Pak Nyoto sehabis menghirup secangkir kopi. “Siap pak, lawong di sini
sehari-hari cuman mencarikan rumput buat si kerbau itu, mending kerja di Kota
aja”.
Tiba-tiba air mataku meneteskan membasahi pipiku yang putih lembut kekuningan. Keluguan yang dulu terbanyang
dengan air mata yang berkaca-kaca. Kenapa aku dulu begitu mudah dirayu oleh
tawaran Pak Nyoto? Mungkin beliau yang datang bawa mobil biru, terlihat sukses
dan maju. Aku berbaring dalam kamar kost sendirian sambil memegangi buku mungil
sebagai curhatan hatinya.
Keputusan yang aku ambil dulu kini rasanya kayak gini. Ah dasar kebodohanku dengar kata marketing produk saja sudah terpikat,
ah itu dulu dua tahun yang lalu, buku
ini adalah belahan jiwaku. Kini aku harus melayani para tamu yang ingin
melepas dahaga untuk mengembalikan semangat hidupnya.
Sambil mengusap air mata dengan sapu tangan pemberian Ibuku, aku membuka dan membaca buku harianku. Ku baca
catatanku ketika waktu pertama kali kerja di tempatnya pak Nyoto.
Tatkala aku memberikan semangkok es dawet tiba-tiba tanganku ditarik.
Sentuhan yang lembut menyentuh dadaku yang mungil. Tangan-tangan yang usil yang
kadang menyentil harus aku terima. Teriakanku malah jadi bahan tertawaan para
pembeli. Kebingunganku dijadikan bahan
guncingan.
“Mbak Mangkuknya yang tengkurap
dua tu… boleh gak saya baliknya?” celoteh seorang pembeli.
“Ini Bang mangkoknya..!”
sambil memberikan semangkok es dawet. Tiba-tiba orang-orang tertawa
terbahak-bahak “ha…ha…ha..haaa”. ”kenapa
orang-orang ini malah tertawa apa yang salah pada diriku?” pikirku. “Makngkok yang tengkurap tu ya di bukak
sedikit to?” teriak salah satu di antara mereka. “Apa sih maksud mereka?” Mereka tersenyum dan matanya tertuju kepusat
perhatian. Tubuhku yag masih bagus mulus aduh hai membuat mereka berengasan. Aku
sambil memberikan semangkok es dawet tiba-tiba….tersentuh sentuhan yang haram
gila. “aduh…hai Bang… jangan!” dengan sigap aku menagkis sambil teriak
keras dan berlari ke belakang. Teriakanku yang keras terdengar teman-temannya
di sebelahnya. Mereka menyasikkan kejadian seperti sudah biasa bagi para
pelayan yag masih baru.
“Ada apa ini ?” Tiba-tiba
Pak Nyoto datang. “O…. kamu to Jum….”
Pak Nyoto menarik aku ke dalam dan memarahiku yang seharusnya melanyani pembeli
dengan penuh perasaan. “La gimana lo
pak dadaku dipegangi mereka saja lho..”alasan
Juminten. “Kamu harus mengelak dengan lembut, kalau
sifat kamu seperti itu para pelanggan
akan enggan datang lagi terus bosan” berusaha menjelaskan. “Apa harus seperti itu pak?” Matanyaku berkaca-kaca sambil
kuusap perlahan-lahan. “Ya harus,
kalau gak seperti itu dagangan kita tidak akan laku”. “Ya pak…!” jawabku dengan hati yag
terpukul. “Ya sudah, hari inikan hari
pertamamu, kerjanya sampai di sini dulu, istirahat saja di kamar!”
Lanjut Pak Nyoto.
Bayangan masa kerja pertama di Kafe Es Dawet Fres membuat aku meneteskan air mata lagi.
Di dalam kamar yang pengap ini
terus kubaca buku mungil sebagai curhatan hatiku. Terlihat di balik sampul
depan buku itu terpasang foto Ibu yang tersenyum lebar. Lembar demi lembarku baca perlaha-lahan.
Memori dua tahun yang lalu aku putar pela-pelan. Perlahan-lahan ,meneratapi
waktu demi waktu yag penuh tabu.
Tiba-tiba aku tersenyum tatkala kubaca: Hari ini aku mengirimkan uang ke
Ibu di desa. Uangku yang lumanyan banyak, hasil kerjaku selama setahun bisa
dinikmati Ibu di desa. Pak Nyoto yang mengirimkan uang ke desa. Dan Ibu
memberikan balasan dengan menulis surat bahwa uangnya akan dijadikan untuk
merehap rumah yang sudah tidak layak lagi. Serta Pak Nyoto menceritakan bahwa
keadaanku di kota sehat-sehat dan kerjanya lancar-lancar saja.
Memang uang yang aku kirimkan sedikit. Akan tetapi di kota yang uangnya kelihtan sedikit, namun di
desa uang tersebut kelihatan selangit.
Sambil membaca catatan harian itu kebahagiaan tercampur rasa hati yang
hancur, Tuntutan kerja yang membuatku begini, jadi ajur . Di desa semangkok seharga seribu di sini dihargai
sepuluh ribu, ya akan meraup untung besar, tapi sebagian tubuhku kadang harus
dipertaruhkan.
Diam-diam Pak Nyoto memperhatikan aku secara serius. Kadang rasa
kecemburuannya terlihat, saat aku didekati para tamu yang mengajakku bercanda
yang kadang kelewatan. Kini aku
dijadikan Pak Nyoto sebagai istri simpanannya. Kemewahan yang diberikan
kepadaku, membuat aku tak bisa berkutik. Sebetulnya aku menolak, akan tetapi
akhirnya kami menikah siri. Sehingga aku mulai percaya dengan keseriusannya.
Ketika Pak Nyoto pergi keluar kota ,
tiba-tiba istrinya Pak Nyoto datang ke kafe, dia marah-marah. Kejengkelannya
kepada Pak Nyoto di tumpahkan ke aku. Kedinginan Pak Nyoto ke istrinya
akhir-akhir ini membuat penasaran, sehingga istri Pak Nyoto menyuruh salah satu
karyawannya untuk mengawasi gelagat suaminya.
“Eh ternyata kamu biang keroknya, masih muda doyan aja orang yang sudah
bau tanah” teriak Istri Pak Nyoto sambil nmenunjukkan jarinya ke wajahku.
“Apa salahku Bu” tanyaku pelan
sambil keheranan. “Masih mengelak,
dasar gadis tak tau diuntung, pergi sana…! Keluar…! Angkat semua
barang-barangmu. Ku pecat kau..! Pergi, pergi, pergi….!
Aku merasa hidup ini tidak adil. Baru setengah tahun kebahagianku
bersama Pak Nyoto kini harus dilepasnya.
Apalagi setalah kejadian itu, besuknya Pak Nyoto menelpon, hatiku hancur lebur
seperti bubur.
“Jum sampai ini saja hubungan kita,
sebab istriku mengancam akan mengusir aku tanpa membawa apapun, bahkan sehelai
bajupun tak boleh aku bawa. Jum maafkan aku..tut…tut..tut..”terdengar
suara dari hp. Ah dasar laki-laki buaya, mau enaknya saja.
Rasanya aku ingin pulang, tapi aku gak punya cukup uang. Apalagi aku tak
mau kembali ke desa hidup bersama sapi dan menjadi buruh tani. Tiba-tiba hpku
berbunyi lagi, eh ternyata dari sahabatku Mila. Hpnya langsung ku angkat
“Hallo”. “Jum kamu dimana?”. “Aku di Terminal ni.. mau pulang gak jadi”
jawab Juminten. “ Ya udah kamu ke
rumahku aja, kerja sama aku enak kok”. Mila merupakan teman kerjaku yang
sudah keluar dahulu karena terpergok mengambil uang di kasir. Mila mengetahuiku
sudah keluar diberitahu oleh temannya yang masih bekerja di Kafe.
Setiba di rumah Mila, Mila langsung mengenalkan Aku kepada salah satu
tetangganya. “Ini Ma yang kemarin aku
ceritakan, anaknya pintar cantik lagi” Mila sambil memegang pundakku
beberapa kali. Tetangga Mila milihatku langsung menyuruh Mila untuk mengajaknya
masuk kerja.
Selepas dari rumah tetangganya, Mila menyuruhku untuk beristirahat di
rumanya. “Ya seperti ini Jum
tempatnya, masih berantakan” keluh Mila sambil menunjukan kamar tidur
buat aku. “O…gak papa Mil, ini saja
aku sudah bersyukur bisa tidur di rumahmu” sahutku pelan karena rasa
capek yang tak bisa tahan. “Ya udah,
cepat istirahat, besuk kamu langsung kerja sama aku”
Setelah seharian aku istirahat,
Mila mengajaknya masuk kerja. “O ini
ya tempat kerjanya, kok berbentuk rumah kecli-kecil” keluh dalam hatiku ketika
diajak Mila ke tempat kerjanya. “Mil
ini tempat apa?” tanyaku keheranan. “Ah kamu pasti tau sendiri nanti, tunggu aja!” jawab Mila sambil
tersenyum.
Ah ternyata kerja yang ditawarkan Mila tak jauh dari tempatnya Pak Nyoto.
malahan tambah gila lagi. Mau bagaimana
lagi uang sudah habis, cari kerja yang bener susah. Ah terlanjur basah ya sudah
mandi sekali, yang penting bisa dapat duwit.
Dengan bermudalkan kecantikan, aku meraup banyak uang. Bahkan Jauh
berlipat-lipat dari gaji yang didapat di tempatnya Pak Nyoto. Beberapa bulan
sekejap langsung terkenal dan menempati posisi tarif yang begitu mahal dari
teman-temannya yang lain.
Oh ibu ku yang tercinta, aku tak berani berkata jujur, kerjaanku sepert
ini yang setiap hari terselimuti dosa. Nasehat-nasehat yang ibu berikan dulu,
aku masih ingat betul. Sekarang karena keadaan, aku sering melanggarnya.
Apalagi tentang kesucian tubuhku, sulit ibu aku menjaganya sampai tibanya nanti
pernikahanku yang syah secara agama dan negara. Apalagi belahan jiwa ibu dulu
yang kekasih pertama ibu, pernah jadi belahan jiwaku juga.
Berdosakah aku? Tapi demi membahagiakan ibu, aku rela melakukan ini. Biar
kenikmatan sesaat yang kadang aku malah terasa nikmat aku jalani. Ibu mungkin
apabila kamu tahu, pasti aku kamu lempar batu. Oh ibu ku tercinta, sekali lagi
maafkan aku, maafkan ibu. Aku berjanji suatu saat, dunia seperti ini pasti aku
tinggalkan. Aku ingin hidup normal seperti layaknya orang-orang. Semoga Tuhan
kasihan kepadaku. Oh Tuhan… berilah aku jalan hidup yang benar.
Tetesan air mata yang terus bercucuran, tatkala melihat Foto ibuku di
balik sampul buku harian yang mungil. Pelan-pelan kuraba-raba. Sesekali kuciumminya,
sebagai pelepas rasa kangen yang dibatasi
jarak yang jauh. Dengan kepedihaan hati dia dekap buku itu sebagai teman
tidurnya.