Saturday 2 June 2012

cerpen


Mobil Biru

Oleh Erwin Purwanto

Pagi sedingin es menyelimuti kota kecil yang mungil di lereng pegunungan. Kabut tebal kekar menahan hawa dingin yang melinting. Pohon-pohon tertunduk berersimpuh malu di antara bebatuan yang diam menahan beban. Dedaunan terpaku pilu membisu mencari tau. Angin tenang berjalan menembus hati tak karuan, menerpa kejayaan yang penuh trik menuju kebahagiaan.

Di lereng pegunungan, terlihat desa yang bahagia. Kenikmatan hidup dipenuhi dengan penyatuan diri dengan alam. Orang-orang bersukaria dengan hewan dan dedaunan. Kehijauan menyatu terhadap kehidupan. Terlepas kemewahan yang bergelamor dunia berkelap-kelip. Kenikmatan hidup menyatu seketika tatkala alam dan manusia berbaur.

Angin tenang sekejap menjadi badai yang kencang nan girang. Bunga-bunga desa berhamburan tercerai berai, tatkala pepohonan enggan berdiri kekar. 

 Dikala pagi itu, ketika aku meyapu halaman depan, tiba-tiba ada mobil biru berhenti di depan rumah. Tanpa berpikir panjang, aku lari masuk rumah mencari Ibuku. “Selamat pagi Yu?” Tiba-tiba seorang laki-laki datang ke rumah. “Enjing Mas Nyoto, monggo-monggo masuk mriki!” jawab Ibuku sambil membuka pintu depan. “Bagaimana Yu kabarnya…?” Sahut Pak Nyoto sambil duduk di kursi sambil sesekali menata dasi. “Sama seperti dulu, tidak ada perubahan, ya Mas Nyoto lihat !,apalagi  setelah meninggalnya Bang Jarot, ya seperti ini…. ” keluh Ibuku.

Pak Nyoto kemudian menceritakan usahanya di kota yang berhasil membuka sebuh kafe yang menyajikan minuman khas desa dikemas secara modern. Usaha yang sejak remaja dibangunnya. Tak lupa menceritakan alasannya meninggalkan desa kelahirannya demi merubah nasib. Kebenciannya terhadap kerbau-kerbau kepunyaannya, yang menjadikan Pak Nyoto seakan-akan seperti budak hewan.  ha..ha…ha..” Pak Nyoto tertawa mengingat masa lalunya. Ibuku dan Pak Nyoto sesekali tertawa terbahak-bahak terbayang masa kanak-kanak dulu bermain sambil mengembala kerbau.

“Yu.. si Jum itu apa gak kamu suruh kerja di kota saja, ketimbang jadi budaknya kerbau-kerbau itu…! dia kan gadis yang cantik, manis lagi” tawar Pak Nyoto. “Ah.. Mas ki..iso-iso wae, ngrayu-ngrayunya…, seperti masa pacaran kita dulu..hehehe..” sanggah Ibuku sambil tersenyum. Seketika pak Nyoto tertawa “Ha..ha…ha…”

Sambil menyalakan rokok cerutunya Pak Nyoto menanyakan keberadaanku “ Si Juminten ada di rumah Yu..?  Wonten, Jum….Jum…. kilo dipanggil pak Nyoto”. Teriak Ibuku seketika. “Oalah Pak Nyoto! Wah sudah jadi pengusaha di kota ni. He..he.,he... ada lowongan gak pak?” Tanyaku sambil menyuguhkan kopi. Aku langsung duduk di dekat Ibuku.  Aku mengeluhkan kehidupan di pegunungan yang sangat memilukan. Kehidupan yang jauh dari kemajuan jaman. Hari-hari dipenuhi seribu dedaunan hijau yang harus diburu untuk memenuhi tuntutan dunia yang maju. Akan tetapi sulit untuk dituju.

Kehadiran Pak Nyoto kerumah kami membawa angin segar bagiku. “Gini Yu Tun, kedatangan saya kemari untuk menawari Juminten bekerja menjadi marketing produk” . “Apa itu pak?” Aku  kaget dan penasaran. “Sebagai penjual produk, nanti gajinya lumayan gede. Kalau kamu ingin mebahagiakan Ibumu, pasti  bisa terwujud kalau kamu mau…!” rayuan Pak Nyoto.

 Mendengar karta marketing produk, Akupun yang baru tamatan SMP satu tahun yang lalu, merasa pekerjaan yang ditawarkan adalah pekerjaan yang menjanjikan dan pasti bergaji tinggi apalagi marketing produk memakai bahasa Inggris. “pasti enak ni…”. “Kenapa Ndok kamu tersenyum-tersenyum wae?” Tiba-tiba Ibuku memegang bahu serta memegang rambuku. “Oalah Ibu aku kok sudah kebayang to” sahutku. “Gimana Jum?” Tanya Pak Nyoto sehabis menghirup secangkir kopi. “Siap pak, lawong di sini sehari-hari cuman mencarikan rumput buat si kerbau itu, mending kerja di Kota aja”.

Tiba-tiba air mataku meneteskan membasahi pipiku yang putih lembut  kekuningan. Keluguan yang dulu terbanyang dengan air mata yang berkaca-kaca. Kenapa aku dulu begitu mudah dirayu oleh tawaran Pak Nyoto? Mungkin beliau yang datang bawa mobil biru, terlihat sukses dan maju. Aku berbaring dalam kamar kost sendirian sambil memegangi buku mungil sebagai curhatan hatinya.

Keputusan yang aku ambil dulu kini rasanya kayak gini.  Ah dasar kebodohanku dengar kata marketing produk saja sudah terpikat, ah itu dulu dua tahun yang lalu, buku ini adalah belahan jiwaku. Kini aku harus melayani para tamu yang ingin melepas dahaga untuk mengembalikan semangat hidupnya.

Sambil mengusap air mata dengan sapu tangan pemberian Ibuku, aku  membuka dan membaca buku harianku. Ku baca catatanku ketika waktu pertama kali kerja di tempatnya pak Nyoto.

Tatkala aku memberikan semangkok es dawet tiba-tiba tanganku ditarik. Sentuhan yang lembut menyentuh dadaku yang mungil. Tangan-tangan yang usil yang kadang menyentil harus aku terima. Teriakanku malah jadi bahan tertawaan para pembeli.  Kebingunganku dijadikan bahan guncingan.      

Mbak Mangkuknya yang tengkurap dua tu… boleh gak saya baliknya?” celoteh seorang pembeli. Ini Bang mangkoknya..!” sambil memberikan semangkok es dawet. Tiba-tiba orang-orang tertawa terbahak-bahak “ha…ha…ha..haaa”.kenapa orang-orang ini malah tertawa apa yang salah pada diriku?” pikirku. “Makngkok yang tengkurap tu ya di bukak sedikit to?” teriak salah satu di antara mereka. “Apa sih maksud mereka?”   Mereka tersenyum dan matanya tertuju kepusat perhatian. Tubuhku yag masih bagus mulus aduh hai membuat mereka berengasan. Aku sambil memberikan semangkok es dawet tiba-tiba….tersentuh sentuhan yang haram gila. aduh…hai Bang… jangan! dengan sigap aku menagkis sambil teriak keras dan berlari ke belakang. Teriakanku yang keras terdengar teman-temannya di sebelahnya. Mereka menyasikkan kejadian seperti sudah biasa bagi para pelayan yag masih baru.

“Ada apa ini ?” Tiba-tiba Pak Nyoto datang. “O…. kamu to Jum….” Pak Nyoto menarik aku ke dalam dan memarahiku yang seharusnya melanyani pembeli dengan penuh perasaan. “La gimana lo pak  dadaku dipegangi mereka saja lho..”alasan Juminten. “Kamu harus mengelak dengan lembut, kalau sifat kamu seperti  itu para pelanggan akan enggan datang lagi terus bosan” berusaha menjelaskan. “Apa harus seperti itu pak?” Matanyaku berkaca-kaca sambil kuusap perlahan-lahan. “Ya harus, kalau gak seperti itu dagangan kita tidak akan laku”. “Ya pak…!” jawabku dengan hati yag terpukul. “Ya sudah, hari inikan hari pertamamu, kerjanya sampai di sini dulu, istirahat saja di kamar!” Lanjut Pak Nyoto.

Bayangan masa kerja pertama di Kafe Es Dawet Fres membuat  aku meneteskan air mata lagi.

 Di dalam kamar yang pengap ini terus kubaca buku mungil sebagai curhatan hatiku. Terlihat di balik sampul depan buku itu terpasang foto Ibu yang tersenyum lebar.  Lembar demi lembarku baca perlaha-lahan. Memori dua tahun yang lalu aku putar pela-pelan. Perlahan-lahan ,meneratapi waktu demi waktu yag penuh tabu.

Tiba-tiba aku tersenyum tatkala kubaca: Hari ini aku mengirimkan uang ke Ibu di desa. Uangku yang lumanyan banyak, hasil kerjaku selama setahun bisa dinikmati Ibu di desa. Pak Nyoto yang mengirimkan uang ke desa. Dan Ibu memberikan balasan dengan menulis surat bahwa uangnya akan dijadikan untuk merehap rumah yang sudah tidak layak lagi. Serta Pak Nyoto menceritakan bahwa keadaanku di kota sehat-sehat dan kerjanya lancar-lancar saja.

Memang uang yang aku kirimkan sedikit. Akan tetapi di kota yang uangnya kelihtan sedikit, namun di desa uang tersebut kelihatan selangit.

Sambil membaca catatan harian itu kebahagiaan tercampur rasa hati yang hancur, Tuntutan kerja yang membuatku begini, jadi ajur . Di desa semangkok seharga seribu di sini dihargai sepuluh ribu, ya akan meraup untung besar, tapi sebagian tubuhku kadang harus dipertaruhkan. 

Diam-diam Pak Nyoto memperhatikan aku secara serius. Kadang rasa kecemburuannya terlihat, saat aku didekati para tamu yang mengajakku bercanda yang kadang kelewatan.  Kini aku dijadikan Pak Nyoto sebagai istri simpanannya. Kemewahan yang diberikan kepadaku, membuat aku tak bisa berkutik. Sebetulnya aku menolak, akan tetapi akhirnya kami menikah siri. Sehingga aku mulai percaya dengan keseriusannya.

Ketika Pak Nyoto pergi keluar kota, tiba-tiba istrinya Pak Nyoto datang ke kafe, dia marah-marah. Kejengkelannya kepada Pak Nyoto di tumpahkan ke aku. Kedinginan Pak Nyoto ke istrinya akhir-akhir ini membuat penasaran, sehingga istri Pak Nyoto menyuruh salah satu karyawannya untuk mengawasi gelagat suaminya.

 Eh ternyata kamu biang keroknya, masih muda doyan aja orang yang sudah bau tanah” teriak Istri Pak Nyoto sambil nmenunjukkan jarinya ke wajahku. “Apa salahku Bu” tanyaku pelan sambil keheranan. “Masih mengelak, dasar gadis tak tau diuntung, pergi sana…! Keluar…! Angkat semua barang-barangmu. Ku pecat kau..! Pergi, pergi, pergi….!

Aku merasa hidup ini tidak adil. Baru setengah tahun kebahagianku bersama  Pak Nyoto kini harus dilepasnya. Apalagi setalah kejadian itu, besuknya Pak Nyoto menelpon, hatiku hancur lebur seperti bubur.

Jum sampai ini saja hubungan kita, sebab istriku mengancam akan mengusir aku tanpa membawa apapun, bahkan sehelai bajupun tak boleh aku bawa. Jum maafkan aku..tut…tut..tut..”terdengar suara dari hp. Ah dasar laki-laki buaya, mau enaknya saja.

Rasanya aku ingin pulang, tapi aku gak punya cukup uang. Apalagi aku tak mau kembali ke desa hidup bersama sapi dan menjadi buruh tani. Tiba-tiba hpku berbunyi lagi, eh ternyata dari sahabatku Mila. Hpnya langsung ku angkat “Hallo”. “Jum kamu dimana?”. “Aku di Terminal ni.. mau pulang gak jadi” jawab Juminten. “ Ya udah kamu ke rumahku aja, kerja sama aku enak kok”. Mila merupakan teman kerjaku yang sudah keluar dahulu karena terpergok mengambil uang di kasir. Mila mengetahuiku sudah keluar diberitahu oleh temannya yang masih bekerja di Kafe.

Setiba di rumah Mila, Mila langsung mengenalkan Aku kepada salah satu tetangganya. “Ini Ma yang kemarin aku ceritakan, anaknya pintar cantik lagi” Mila sambil memegang pundakku beberapa kali. Tetangga Mila milihatku langsung menyuruh Mila untuk mengajaknya masuk kerja.

Selepas dari rumah tetangganya, Mila menyuruhku untuk beristirahat di rumanya. “Ya seperti ini Jum tempatnya, masih berantakan” keluh Mila sambil menunjukan kamar tidur buat aku. “O…gak papa Mil, ini saja aku sudah bersyukur bisa tidur di rumahmu” sahutku pelan karena rasa capek yang tak bisa tahan. “Ya udah, cepat istirahat, besuk kamu langsung kerja sama aku”

 Setelah seharian aku istirahat, Mila mengajaknya masuk kerja. “O ini ya tempat kerjanya, kok berbentuk rumah kecli-kecil” keluh dalam hatiku ketika diajak Mila ke tempat kerjanya. Mil ini tempat apa?” tanyaku keheranan. “Ah kamu pasti tau sendiri nanti, tunggu aja!” jawab Mila sambil tersenyum.

Ah ternyata kerja yang ditawarkan Mila tak jauh dari tempatnya Pak Nyoto. malahan tambah gila lagi.  Mau bagaimana lagi uang sudah habis, cari kerja yang bener susah. Ah terlanjur basah ya sudah mandi sekali, yang penting bisa dapat duwit.

Dengan bermudalkan kecantikan, aku meraup banyak uang. Bahkan Jauh berlipat-lipat dari gaji yang didapat di tempatnya Pak Nyoto. Beberapa bulan sekejap langsung terkenal dan menempati posisi tarif yang begitu mahal dari teman-temannya yang lain.

Oh ibu ku yang tercinta, aku tak berani berkata jujur, kerjaanku sepert ini yang setiap hari terselimuti dosa. Nasehat-nasehat yang ibu berikan dulu, aku masih ingat betul. Sekarang karena keadaan, aku sering melanggarnya. Apalagi tentang kesucian tubuhku, sulit ibu aku menjaganya sampai tibanya nanti pernikahanku yang syah secara agama dan negara. Apalagi belahan jiwa ibu dulu yang kekasih pertama ibu, pernah jadi belahan jiwaku juga.

Berdosakah aku? Tapi demi membahagiakan ibu, aku rela melakukan ini. Biar kenikmatan sesaat yang kadang aku malah terasa nikmat aku jalani. Ibu mungkin apabila kamu tahu, pasti aku kamu lempar batu. Oh ibu ku tercinta, sekali lagi maafkan aku, maafkan ibu. Aku berjanji suatu saat, dunia seperti ini pasti aku tinggalkan. Aku ingin hidup normal seperti layaknya orang-orang. Semoga Tuhan kasihan kepadaku. Oh Tuhan… berilah aku jalan hidup yang benar.

Tetesan air mata yang terus bercucuran, tatkala melihat Foto ibuku di balik sampul buku harian yang mungil. Pelan-pelan kuraba-raba. Sesekali kuciumminya, sebagai pelepas rasa kangen yang dibatasi jarak yang jauh. Dengan kepedihaan hati dia dekap buku itu sebagai teman tidurnya.


No comments:

Post a Comment

Puisi

"Awan" Oleh:  Kang Win Awan mulai menylimuti matahari Cahaya panas kian menghilang Bak sirna dalam ke Hirupikukan Tak ada awan, t...