Saturday 2 June 2012

cerpen


Mobil Biru

Oleh Erwin Purwanto

Pagi sedingin es menyelimuti kota kecil yang mungil di lereng pegunungan. Kabut tebal kekar menahan hawa dingin yang melinting. Pohon-pohon tertunduk berersimpuh malu di antara bebatuan yang diam menahan beban. Dedaunan terpaku pilu membisu mencari tau. Angin tenang berjalan menembus hati tak karuan, menerpa kejayaan yang penuh trik menuju kebahagiaan.

Di lereng pegunungan, terlihat desa yang bahagia. Kenikmatan hidup dipenuhi dengan penyatuan diri dengan alam. Orang-orang bersukaria dengan hewan dan dedaunan. Kehijauan menyatu terhadap kehidupan. Terlepas kemewahan yang bergelamor dunia berkelap-kelip. Kenikmatan hidup menyatu seketika tatkala alam dan manusia berbaur.

Angin tenang sekejap menjadi badai yang kencang nan girang. Bunga-bunga desa berhamburan tercerai berai, tatkala pepohonan enggan berdiri kekar. 

 Dikala pagi itu, ketika aku meyapu halaman depan, tiba-tiba ada mobil biru berhenti di depan rumah. Tanpa berpikir panjang, aku lari masuk rumah mencari Ibuku. “Selamat pagi Yu?” Tiba-tiba seorang laki-laki datang ke rumah. “Enjing Mas Nyoto, monggo-monggo masuk mriki!” jawab Ibuku sambil membuka pintu depan. “Bagaimana Yu kabarnya…?” Sahut Pak Nyoto sambil duduk di kursi sambil sesekali menata dasi. “Sama seperti dulu, tidak ada perubahan, ya Mas Nyoto lihat !,apalagi  setelah meninggalnya Bang Jarot, ya seperti ini…. ” keluh Ibuku.

Pak Nyoto kemudian menceritakan usahanya di kota yang berhasil membuka sebuh kafe yang menyajikan minuman khas desa dikemas secara modern. Usaha yang sejak remaja dibangunnya. Tak lupa menceritakan alasannya meninggalkan desa kelahirannya demi merubah nasib. Kebenciannya terhadap kerbau-kerbau kepunyaannya, yang menjadikan Pak Nyoto seakan-akan seperti budak hewan.  ha..ha…ha..” Pak Nyoto tertawa mengingat masa lalunya. Ibuku dan Pak Nyoto sesekali tertawa terbahak-bahak terbayang masa kanak-kanak dulu bermain sambil mengembala kerbau.

“Yu.. si Jum itu apa gak kamu suruh kerja di kota saja, ketimbang jadi budaknya kerbau-kerbau itu…! dia kan gadis yang cantik, manis lagi” tawar Pak Nyoto. “Ah.. Mas ki..iso-iso wae, ngrayu-ngrayunya…, seperti masa pacaran kita dulu..hehehe..” sanggah Ibuku sambil tersenyum. Seketika pak Nyoto tertawa “Ha..ha…ha…”

Sambil menyalakan rokok cerutunya Pak Nyoto menanyakan keberadaanku “ Si Juminten ada di rumah Yu..?  Wonten, Jum….Jum…. kilo dipanggil pak Nyoto”. Teriak Ibuku seketika. “Oalah Pak Nyoto! Wah sudah jadi pengusaha di kota ni. He..he.,he... ada lowongan gak pak?” Tanyaku sambil menyuguhkan kopi. Aku langsung duduk di dekat Ibuku.  Aku mengeluhkan kehidupan di pegunungan yang sangat memilukan. Kehidupan yang jauh dari kemajuan jaman. Hari-hari dipenuhi seribu dedaunan hijau yang harus diburu untuk memenuhi tuntutan dunia yang maju. Akan tetapi sulit untuk dituju.

Kehadiran Pak Nyoto kerumah kami membawa angin segar bagiku. “Gini Yu Tun, kedatangan saya kemari untuk menawari Juminten bekerja menjadi marketing produk” . “Apa itu pak?” Aku  kaget dan penasaran. “Sebagai penjual produk, nanti gajinya lumayan gede. Kalau kamu ingin mebahagiakan Ibumu, pasti  bisa terwujud kalau kamu mau…!” rayuan Pak Nyoto.

 Mendengar karta marketing produk, Akupun yang baru tamatan SMP satu tahun yang lalu, merasa pekerjaan yang ditawarkan adalah pekerjaan yang menjanjikan dan pasti bergaji tinggi apalagi marketing produk memakai bahasa Inggris. “pasti enak ni…”. “Kenapa Ndok kamu tersenyum-tersenyum wae?” Tiba-tiba Ibuku memegang bahu serta memegang rambuku. “Oalah Ibu aku kok sudah kebayang to” sahutku. “Gimana Jum?” Tanya Pak Nyoto sehabis menghirup secangkir kopi. “Siap pak, lawong di sini sehari-hari cuman mencarikan rumput buat si kerbau itu, mending kerja di Kota aja”.

Tiba-tiba air mataku meneteskan membasahi pipiku yang putih lembut  kekuningan. Keluguan yang dulu terbanyang dengan air mata yang berkaca-kaca. Kenapa aku dulu begitu mudah dirayu oleh tawaran Pak Nyoto? Mungkin beliau yang datang bawa mobil biru, terlihat sukses dan maju. Aku berbaring dalam kamar kost sendirian sambil memegangi buku mungil sebagai curhatan hatinya.

Keputusan yang aku ambil dulu kini rasanya kayak gini.  Ah dasar kebodohanku dengar kata marketing produk saja sudah terpikat, ah itu dulu dua tahun yang lalu, buku ini adalah belahan jiwaku. Kini aku harus melayani para tamu yang ingin melepas dahaga untuk mengembalikan semangat hidupnya.

Sambil mengusap air mata dengan sapu tangan pemberian Ibuku, aku  membuka dan membaca buku harianku. Ku baca catatanku ketika waktu pertama kali kerja di tempatnya pak Nyoto.

Tatkala aku memberikan semangkok es dawet tiba-tiba tanganku ditarik. Sentuhan yang lembut menyentuh dadaku yang mungil. Tangan-tangan yang usil yang kadang menyentil harus aku terima. Teriakanku malah jadi bahan tertawaan para pembeli.  Kebingunganku dijadikan bahan guncingan.      

Mbak Mangkuknya yang tengkurap dua tu… boleh gak saya baliknya?” celoteh seorang pembeli. Ini Bang mangkoknya..!” sambil memberikan semangkok es dawet. Tiba-tiba orang-orang tertawa terbahak-bahak “ha…ha…ha..haaa”.kenapa orang-orang ini malah tertawa apa yang salah pada diriku?” pikirku. “Makngkok yang tengkurap tu ya di bukak sedikit to?” teriak salah satu di antara mereka. “Apa sih maksud mereka?”   Mereka tersenyum dan matanya tertuju kepusat perhatian. Tubuhku yag masih bagus mulus aduh hai membuat mereka berengasan. Aku sambil memberikan semangkok es dawet tiba-tiba….tersentuh sentuhan yang haram gila. aduh…hai Bang… jangan! dengan sigap aku menagkis sambil teriak keras dan berlari ke belakang. Teriakanku yang keras terdengar teman-temannya di sebelahnya. Mereka menyasikkan kejadian seperti sudah biasa bagi para pelayan yag masih baru.

“Ada apa ini ?” Tiba-tiba Pak Nyoto datang. “O…. kamu to Jum….” Pak Nyoto menarik aku ke dalam dan memarahiku yang seharusnya melanyani pembeli dengan penuh perasaan. “La gimana lo pak  dadaku dipegangi mereka saja lho..”alasan Juminten. “Kamu harus mengelak dengan lembut, kalau sifat kamu seperti  itu para pelanggan akan enggan datang lagi terus bosan” berusaha menjelaskan. “Apa harus seperti itu pak?” Matanyaku berkaca-kaca sambil kuusap perlahan-lahan. “Ya harus, kalau gak seperti itu dagangan kita tidak akan laku”. “Ya pak…!” jawabku dengan hati yag terpukul. “Ya sudah, hari inikan hari pertamamu, kerjanya sampai di sini dulu, istirahat saja di kamar!” Lanjut Pak Nyoto.

Bayangan masa kerja pertama di Kafe Es Dawet Fres membuat  aku meneteskan air mata lagi.

 Di dalam kamar yang pengap ini terus kubaca buku mungil sebagai curhatan hatiku. Terlihat di balik sampul depan buku itu terpasang foto Ibu yang tersenyum lebar.  Lembar demi lembarku baca perlaha-lahan. Memori dua tahun yang lalu aku putar pela-pelan. Perlahan-lahan ,meneratapi waktu demi waktu yag penuh tabu.

Tiba-tiba aku tersenyum tatkala kubaca: Hari ini aku mengirimkan uang ke Ibu di desa. Uangku yang lumanyan banyak, hasil kerjaku selama setahun bisa dinikmati Ibu di desa. Pak Nyoto yang mengirimkan uang ke desa. Dan Ibu memberikan balasan dengan menulis surat bahwa uangnya akan dijadikan untuk merehap rumah yang sudah tidak layak lagi. Serta Pak Nyoto menceritakan bahwa keadaanku di kota sehat-sehat dan kerjanya lancar-lancar saja.

Memang uang yang aku kirimkan sedikit. Akan tetapi di kota yang uangnya kelihtan sedikit, namun di desa uang tersebut kelihatan selangit.

Sambil membaca catatan harian itu kebahagiaan tercampur rasa hati yang hancur, Tuntutan kerja yang membuatku begini, jadi ajur . Di desa semangkok seharga seribu di sini dihargai sepuluh ribu, ya akan meraup untung besar, tapi sebagian tubuhku kadang harus dipertaruhkan. 

Diam-diam Pak Nyoto memperhatikan aku secara serius. Kadang rasa kecemburuannya terlihat, saat aku didekati para tamu yang mengajakku bercanda yang kadang kelewatan.  Kini aku dijadikan Pak Nyoto sebagai istri simpanannya. Kemewahan yang diberikan kepadaku, membuat aku tak bisa berkutik. Sebetulnya aku menolak, akan tetapi akhirnya kami menikah siri. Sehingga aku mulai percaya dengan keseriusannya.

Ketika Pak Nyoto pergi keluar kota, tiba-tiba istrinya Pak Nyoto datang ke kafe, dia marah-marah. Kejengkelannya kepada Pak Nyoto di tumpahkan ke aku. Kedinginan Pak Nyoto ke istrinya akhir-akhir ini membuat penasaran, sehingga istri Pak Nyoto menyuruh salah satu karyawannya untuk mengawasi gelagat suaminya.

 Eh ternyata kamu biang keroknya, masih muda doyan aja orang yang sudah bau tanah” teriak Istri Pak Nyoto sambil nmenunjukkan jarinya ke wajahku. “Apa salahku Bu” tanyaku pelan sambil keheranan. “Masih mengelak, dasar gadis tak tau diuntung, pergi sana…! Keluar…! Angkat semua barang-barangmu. Ku pecat kau..! Pergi, pergi, pergi….!

Aku merasa hidup ini tidak adil. Baru setengah tahun kebahagianku bersama  Pak Nyoto kini harus dilepasnya. Apalagi setalah kejadian itu, besuknya Pak Nyoto menelpon, hatiku hancur lebur seperti bubur.

Jum sampai ini saja hubungan kita, sebab istriku mengancam akan mengusir aku tanpa membawa apapun, bahkan sehelai bajupun tak boleh aku bawa. Jum maafkan aku..tut…tut..tut..”terdengar suara dari hp. Ah dasar laki-laki buaya, mau enaknya saja.

Rasanya aku ingin pulang, tapi aku gak punya cukup uang. Apalagi aku tak mau kembali ke desa hidup bersama sapi dan menjadi buruh tani. Tiba-tiba hpku berbunyi lagi, eh ternyata dari sahabatku Mila. Hpnya langsung ku angkat “Hallo”. “Jum kamu dimana?”. “Aku di Terminal ni.. mau pulang gak jadi” jawab Juminten. “ Ya udah kamu ke rumahku aja, kerja sama aku enak kok”. Mila merupakan teman kerjaku yang sudah keluar dahulu karena terpergok mengambil uang di kasir. Mila mengetahuiku sudah keluar diberitahu oleh temannya yang masih bekerja di Kafe.

Setiba di rumah Mila, Mila langsung mengenalkan Aku kepada salah satu tetangganya. “Ini Ma yang kemarin aku ceritakan, anaknya pintar cantik lagi” Mila sambil memegang pundakku beberapa kali. Tetangga Mila milihatku langsung menyuruh Mila untuk mengajaknya masuk kerja.

Selepas dari rumah tetangganya, Mila menyuruhku untuk beristirahat di rumanya. “Ya seperti ini Jum tempatnya, masih berantakan” keluh Mila sambil menunjukan kamar tidur buat aku. “O…gak papa Mil, ini saja aku sudah bersyukur bisa tidur di rumahmu” sahutku pelan karena rasa capek yang tak bisa tahan. “Ya udah, cepat istirahat, besuk kamu langsung kerja sama aku”

 Setelah seharian aku istirahat, Mila mengajaknya masuk kerja. “O ini ya tempat kerjanya, kok berbentuk rumah kecli-kecil” keluh dalam hatiku ketika diajak Mila ke tempat kerjanya. Mil ini tempat apa?” tanyaku keheranan. “Ah kamu pasti tau sendiri nanti, tunggu aja!” jawab Mila sambil tersenyum.

Ah ternyata kerja yang ditawarkan Mila tak jauh dari tempatnya Pak Nyoto. malahan tambah gila lagi.  Mau bagaimana lagi uang sudah habis, cari kerja yang bener susah. Ah terlanjur basah ya sudah mandi sekali, yang penting bisa dapat duwit.

Dengan bermudalkan kecantikan, aku meraup banyak uang. Bahkan Jauh berlipat-lipat dari gaji yang didapat di tempatnya Pak Nyoto. Beberapa bulan sekejap langsung terkenal dan menempati posisi tarif yang begitu mahal dari teman-temannya yang lain.

Oh ibu ku yang tercinta, aku tak berani berkata jujur, kerjaanku sepert ini yang setiap hari terselimuti dosa. Nasehat-nasehat yang ibu berikan dulu, aku masih ingat betul. Sekarang karena keadaan, aku sering melanggarnya. Apalagi tentang kesucian tubuhku, sulit ibu aku menjaganya sampai tibanya nanti pernikahanku yang syah secara agama dan negara. Apalagi belahan jiwa ibu dulu yang kekasih pertama ibu, pernah jadi belahan jiwaku juga.

Berdosakah aku? Tapi demi membahagiakan ibu, aku rela melakukan ini. Biar kenikmatan sesaat yang kadang aku malah terasa nikmat aku jalani. Ibu mungkin apabila kamu tahu, pasti aku kamu lempar batu. Oh ibu ku tercinta, sekali lagi maafkan aku, maafkan ibu. Aku berjanji suatu saat, dunia seperti ini pasti aku tinggalkan. Aku ingin hidup normal seperti layaknya orang-orang. Semoga Tuhan kasihan kepadaku. Oh Tuhan… berilah aku jalan hidup yang benar.

Tetesan air mata yang terus bercucuran, tatkala melihat Foto ibuku di balik sampul buku harian yang mungil. Pelan-pelan kuraba-raba. Sesekali kuciumminya, sebagai pelepas rasa kangen yang dibatasi jarak yang jauh. Dengan kepedihaan hati dia dekap buku itu sebagai teman tidurnya.


cerpen


“Besi Tua”

Oleh: Erwin Purwanto



Ketatap besi-besi tua yang menganga kehitaman tertumpuk berantakan di ruang belakang. Diam pasrah menanti para antrian jemputan para pengecat. Di antara besi-besi tua terblesit ratapan hati yang menanti kehidupan yang berarti.  Debu-debu bertaburan menylinap di kelopak mata yang menatap warna-warni kehidupan.

Pagi itu aku mengawali kerjaku dengan menata bayangan sepeda untuk dihaluskan memakai rempelas. Bersama Mbah To, semua bayangan aku tata satu-persatu membentuk setengah melingkar. Aku sebagai karyawan srabetan, membantu  Mbah To yang sudah lama hampir tiga puluh lima tahun bekerja di pabrik sepeda ini dibagian perempelasan bayangan sepeda. Mbah To yang menyiapkan, kikir, rempelas, penitik, palu  dan dempul. Aku sendiri menyiapkan gerinda tangan dan Bor tangan.  Kami berduapun sepontan mengerjakan pekerjaan masing-masing, Mbah To menjegloki, lubang bagian depan bayangan sepeda dan bagian bumbung sadel. Aku sendiri menitik dan mengebor bagian tempat pemasangan slebor.  Mbah To beraada di tengah lingkaran bayangan, aku sendiri di luar lingkaran bayangan.

 Detak jam didinding kian berdetak terus, tak terasa satu jam semua bayangan sepeda sudah aku lobangi. Kami pun mengampals dan kadang mendempul lubang-lubang kecil. Dempul-dempul yang tebal dan keras, membuat pengamplasannya sulit serta menimbulkan debu yang banyak. Tiba-tiba Mbah To batuk-batuk, “Mbah pelan-pelan saja ? ”, saranku. “Gak papa Pur….!!!” Jawab Mbah To sambil merapikan masker yang digunakan. Penyakit paru-paru yang sudah lama dideritanya membuat napasnya terganggu, sehingga sering batuk-batuk. Dengan semangat Mbah To bekerja dengan giat sekali, aku sendiri sebagai anak muda kadang merasa malu, sebab semangat kerjannya yang luar biasa.

 Ku tatap tangan Mbah To yang sudah mulai keriputan, dagingnya mulai mengempes, tidak seperti miikku yang mash segar dan kencang. Aapalagi badannya yang beratnya kurang dari lima puluh kilogram, menjadikan dirinya kelihatan kurus sekali, dengan memakai kaos bekas yang terslimuti dempul-dempul yang menempel di kaosnya. Celana triningnya yang agak kekecilan, dibagian tengahnya dijahit memakai tali rafia, sandal japit yang sudah putus disambung mengunakan tali rafia juga dan masker yang kelihatan kehitaman tercampur debu, Mbah To tetap nyaman dengan penampilannya, tidak merasa risih ataupun  tidak enggan memakainya.

Aku sebagai karyawan yang sudah empat tahun bekerja disini, melihat penampilan Mbah To yang rambutnya sudah beruban, menjadikan aku tetap semangat dalam bekerja. Mbah To yang menikah diusia empat puluh, membuat beliau harus bekerja keras menghidupi keluarganya. Istrinya yang tidak dapat bekerja, sebab mengurusi anak-anaknya. Anak pertamannya Joni Saputra masih kelas enam SD, si Wati Setia Ningrum anak keduanya kelas tiga SD, dan si Sidiq Putra Abadi masih berumur satu tahun. Kedua anaknya yang masih duduk di bangku sekolah, membuat Mbah To harus memutar balikkan kepala untuk mencukupi biaya sekolah yang lama-kelamaan melejit dan mencekik leher.

Tiga puluh lima tahun Mbah To bekerja di pabrik ini, pabrik yang berkelas nasional akan tetapi produksinya masih dikerjakan secara manual. Kehidupannya masih di bawah garis kemiskinan. Mbah To mengontrak rumah yang terbuat dari tirai bambu berukurkan  lebar empat meter dan panjang enam  meter. Lantai yang berjubin dari tanah, serta hanya beruang satu tanpa adanya ruang tamu maupun kamar tidur. Semua anggota keluarga jadi satu diruang tengah, bak seperti layanya kamar tidur. Pakaian dan semua barang-barang jadi satu tanpa adanya sekat sama sekali. Diteras hanya terdapat dua kursi yang dijadikan sebagai ruang tamu. Para tamu yang datang kesitu terpaksa harus duduk di teras, sebab akan ke dalam tak ada tempatnya untuk berbincang-bincang yang layak seperti rumah pada umumnya.

Sambil mengamplas kamipun mengobrol sampai kesana kimari. Secara tidak sadar aku menanyakan kehudupan beliau. “Mbah dengan gaji seperti ini, apa cukup lho mbah untuk memenuhi kebutuha sehari-hari ?” tanyaku. “Ya tidak.., gaji dari sini  cukup beli untuk beras saja” jawabnya sambil mendempul . “Lha terus untuk memenuhinya gimana Mbah ?” lanjutku. “Untungnya adik-adikku masih kasihan kepadaku, ya tidak setiap bulan, tapi bisa membantu sedikit-dikit”. Memang adik-adiknya mbah To ada yang menjadi anggota polri dan ada juga yang menjadi guru. Mbah To sendiri tidak ingin mengharapkan belas kasihan adik-adinya. Sebetulnya pernah, anaknya di jadikan anak asuh oleh adiknya, namun mbah To tidak mau. Dari cerita-cerita mbah To membuat aku penasaran untuk menggetahui betapa pahitnya menelan pil kehidupan ini.

Ketika kami baru menyelesaikan lima puluh bayangan, kami dipanggil oleh sang mandor untuk mengeluarkan bayangan dari oven. Kamipun bergegas ke oven, dan mengeluarkan satu persatu bayangan dan porok sepeda. Sebetulnya bagian pengampalsan terdiri dari empat orang, kebetulan hari itu hanya Mbah To saja yang masuk, Aku sebagi tenaga srabetan disuruh untuk membantu Mbah To. Dengan pelan-pelan kami mengeluarkan bayangan dan porok tersebut sera kami tata tertumpuk. Setelah selesai, Mbah To tidak kuasa menahan haus dahaganya, sesegera menuju ketempat ganti baju dan mengambil botol air minum yang sudah disiapkan dari rumah. Kami kemudian melanjutkan mengamplas bayangn yang masih banyak sekitar enam puluhan jumlahnya. Tiba-tiba  Pak Lan sebagai Mandor, datang melihat hasil kerja kami. Dengan menmggunakan palu dan baja besi untuk memperbesar lubang porong, Pak Lan mengontrolinya. “Pur lubangnya ini kurang besar…” Pak Lan memanggilu. “ya Pak..” Jawabku. Dengan keras, Pak Lan memukul baja besi untuk membesarkan lubang itu. Pak Lan tidak berani menegur Mbah To, sebetulnya Pak Lan mengetahui siapa yang menjeglokinya, tapi dia tidak menegur mbah To justru aku. Tenaga Mbah To yang sudah tidak kuat, sehingga hasilnya pekerjaanya tidak maksimal. “Pur …sebetulnya lubangnya sebesar itu sudah pas, sebabkan tidak mungkin harus masuk langsung kan harus sesak to ?” keluh Mbah To. “iya Mbah…” Satu persatu bayangan sepeda diperiksa lagi oleh Pak Lan, sesekali membesarkan lubang porok dengan tenaga ekstra, ada yang masuk dan ada juga yang pecah. “Oalah ternyata tebalnya pipa terlalu tebal, sehingga sulit untuk memasukkan mangkoaannya” keluh Pak Lan. “Pur,..Pur,…” teriak PAK lan memanggilku. Aku menoleh ke arah Pak Lan ternyata tangan beliau mengeluarkan darah banyak, sepontan aku lari ke almari p3k dan mengmgambil betadin dan kapas. Pak Lan langsun menuju ruangn depan dan duduk di kursi sambil memegangi lukanya. Setelah kapas dan betadin aku berikan, aku kembalimke belakng. Beliau dibantu pak sugeng membersihkan luka dan membalutmya. Aku sendiri melanjutkan berkerja bersama Mbah To. Luka yang dialami Pak Lan tidak terlalu serius, sehingga aku melanjutkan pekerjaan. “Bayangan tadi itu sebetulnya sudah aku jeglogi dengan sekuat tenagaku…,pipanya yang tebal sekali” kata Mbah To dengan logat Jawanya. “ Yaa ….! Ya udah Mbah gak usah dipikir, nanti yang pecah itu aku bawa ke bagian pengelasan..” Jawabku sambil memegangi bayangan sepeda. “Pak Lan tadi terkena palu. ..itulo Mbah” aku memberitahu Mbah To.

*****

Sambil mengamplas Mbah To menasehati aku agar bekerja di pabrik sepeda ini untuk batu loncatan saja. Gaji selama tiga puluh lima tahun  hanya bisa untuk beli beras saja, maka dari itu Mbah To merasa kasihan kepadaku. “Heleh Pur….Pur… Jangan sampai kamu sepertiku, aku sudah tertancap di sini sulit untuk keluar cari kerja yang layak. Kamu mumpung masih muda cari kerja yang layak !”. Dalam pikirku aku keheranan dengan nasehat Mbah To, “Apakah kerja di sisni seperti itu ???”.

Kemudian MBAH To melanjutkan ceritanya, “Aku dulu kerja di sini sejak tamatan Smp, dari tukang bersih-bersih halaman sampai membersihkan kamar mandipun aku jalani. Setiap istirhat mengantarkan makanam ke pabrik. Kedekatannku dengan Pak Tulus yang keturunan Cina Jawa sebagai pememilik pabrik ini, membuat aku sangat dipercaya, sampai-sampai aku pinjam berapa juta di kasih. Sempat aku dipegangi sepeda motor untuk kesana-kemari. Di suatu haru ketika aku akan pulang, aku terkejut sebab bayangan yang sudah di paketi yang akan mau di kirim ke pelanggan, setelah dihitung hilang satu. Aku bersama kelima temanku di sidang oleh Pak Tulus dan Istrinya di ruang kantornya, bahwa ada laporan yang mengambil slah satu bayangan itu adalah kami. Satu persatu di tanyain sambil di caci maki, tidak ada yang mengaku. Waktu itu aku yang terakhir, “ini uang satu bendel bawa pulang, jangan sekali-kali kembali ke sisni” bentakan Pak Tulus sambil mengebrak meja. Aku tenang saja, sebab masih ada teman aku yang ketika waktu itu tidak masuk, aku dengan tenang canpur ketakutan mengatakan masih ada satu lagi yang belum di tanyai.

Keesokan harinya, akhirnya temanku tadi mengakui mengabil bayangan untuk di jual, sebab anaknya yang menunggak spp sekolah. PakTulus, tida percaya dengan alasannya, kemudian langsung berkata “besuk tidak usah masuk kerja lagi”.Sejak kejadian itu aku, juga kena imbasnya aku di pisah denga teman-temanku dan aku di tempatkan ke perempalasan ini”

Mbah To juga menceritakan temannya yang bernama Pak goni, diberhentikan gara-gara mengunakan mobil pabrik seharian digunakan untuk taakjiah. “Mbah di sisni itu apak tidak ada pesangon ?” tannyaku. “ Halah Pesangon, THR itu saja setengah gaji sebulan, apa gak kelewatan Pur ???......” keluh Mbah To.

Ya memang  empat tahun aku disini, yang Ku alami hanyalah kerja yang tidak menentu. Kadang aku di suruh kerumah pak Tulus untuk memotongi pohon-pohon di halamannya,dan kadang juga mengurusi anjing-anjingnya. Dalam pikirku “tak seindah yang aku bayangkan”, dulu aku sehabis LULUS sekolah menengah kejuruan, ditawarai kerja Pak JENGGot  tetanggaku untuk kerja di pabrik ini, yang sudah meninggal dua tahun yang lalu akibat kecelakan ketika mengirimka barang ke luar kota.

*****

Bunyi bel tanda istirahat terdengar sampai ke belakang, Aku Bersama Mbah To langsung membersihkan tangan untuk persiapan makan siang. Sekitar empat puluh Tujuh karyawan yang di bagian pengecatan sisni berkumpul di halaman, dan menyantap makan siang yang sudah di bungkus rapi satu persatu dari rumah pak Tulus. “sayur apaan ini ? masa cuman air memndidih dikasih bayam dan kobis saja…” teriak pak Kamso sambil melemparkan rantang tempat nasinya. Memang orang bayak, bayak yang mengeluh, ada yang bilang tidak ada garamnya, sampai  cuman dikasih cabe saja, dan seterusnya. Pak Kamso terkenal orang yang banyak bicara, menggembor-gemborkan kekurangan pabrik, terutama tentang makannya, namun apapbila di hadapan Pak Tulus tidak mempunyai nyali hanya bisa bilang “ya..Bos, Siap Bos..Oke Bos…!” jauh dari apa yang dia bilang kekaryawan lain.

Kami dituntut untuk mengerjakanya dengan memenuhi tarjet dalam sehari, namun khusus aku dan ketiga temanku sebagai tenaga harian, tak bisa berkutik sebab hanya bisa membantu para karyawa yang bekerja dengan sitem borongan. Sebetulnya kami sendiri bisa dan  mampu untuk bekerja system borongan entah apa yang membuat kami masih sistem harian.

Bekerja di perusahaan sepeda ini sebetulnya bukan uang yang aku dapat, malahan aku mendapatkan ilmu yang sangat berharga. Memang kalau dipikir masalah gaji, aku ingin saja keluar dari perusahaan. Pengalaman-pengalaman kehidupan para keryawan yang sudah berumah tangga membuat aku yang belumum menikah, merasa betah dan dapat mengerti makna hidup ini. Pinjam-meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sudah menjadi kebiasan mewarnai hidup ini. Setiap hari Sabtu gajian, namun  hari Kamisnya uang yang ada didompet tinggal untuk jaga-jaga kalau ban sepeda monto bocor dijalan.

Rata-rata kehidupan keluarga para karyawan pas-pasan saja, bahkan untuk makan saja kadang masih ngutang di toko sembako. Apalagi bagi keluarga yang baru saja menikah dan mempunyai anak kecil, untuk beli susu saja, gaji seminggu tidak cukup. Banyak temen-temenku yang baru menikah mengeluhkan gaji yang didapat tidak bisa menyukupi kebutuhan sehari-hari, sehingga harus membuka usaha atau bekerja di tempat lain lagi sehabis waktu kerja di pabrik.

****

Aku sebagai tenaga harian, walaupu aku sudah bekerja empat tahun lamanya, gajiku masih tidak sama dengan karyawan lain. Apalagi standar dari upah minimum regional (UMR). Perusahaan yang milik perseorangan tidak bisa membuat kami bisa menuntut apa-apa. Sistem kerja yang dilakukan tidak sama dengan sisten kerja yang dilakukan oleh pemerintah. Asuransi kecelakaanpun tidak difasilitasi, apalagi kalau keluar tidak dapat pesangon yang sesuai dengan masa kerja, disalah satu sisi perusahaan pabrik ini menguntungka para karyawan, sebab tidak ada namanya pemecatan karyawan. Sebab pemilik pabrik tak mau kehilangan uang. Sehingga para karyawan yang baru dan yang lama kerjanya sama, bedanya hanya gajinya. Selain itu juga, gaji yang didapatkan tidak sesuai dengan kerja yang  dilakukan. Semua karyawan gajinya tidak sesuai denga standat  yang telah ditetapkan pemerintah, justru masih jauh dibawah standat. Secara tidak langgsung karyawan merasa tertekan hak-haknnya sebagai buruh pabrik

Entah apa yang membuat aku dulu bisa masuk kerja di sini. Memag dulu aku ngin mergubah nasib., tapi apa yag aku rasakan ???, aku merasa terkenkang di negaraku sendiri. Pemilik perusahaa yang orang keturunan asing justru membuat aku tak berdaya di negariku sendiri. Aku harus tunduk patuh dan hormat kepada orang asing, harga diripun aku pertaruhkan demi rupiah. Setiap hari dihadapkan besi-besi tua yang sangat sudah tidak layak digunakan, Dengan kepiaiwan kami besi tua pun bisa dijadikan baru dan laku dipasaran. Dengan memermak, mendempul, mengamplas sampai mengepaki, aku harus bisa melakasanakan itu semua.

                                                   ***** 



Wednesday 28 March 2012

ASPEK SOSIAL BUDAYA JAWA DALAM NOVEL LANANG KARYA YONATHAN RAHADRJO

BAB I
BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
       Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat masa tersebut. Pengarang mengubah karyanya selaku seorang warga masyarakat dan menyapa pembaca yang sama-sama dengannya merupakan warga masyarakat tersebut (Luxemburg, 1986: 23). Sastra, tidak seperti halnya ilmu kimia atau sejarah, tidak menyuguhkan ilmu pengetahuan dalam bentuk jadi. Sastra berkaitan erat dengan semua aspek manusia dan alam dengan keseluruhannya (Rahmanto, 1989: 17). Sehingga sastra dapat sebagai hiburan, pelajaran kehidupan dan sarana penyampain tujuan yang dikemas dalam keindahan. Sastra menyajikan kehidupan dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyatan sosial, walaupun karya sastra meniru alam dan dunia subjektif manusia.
1
1
1
       Pada dasarnya kehidupan manusia sangatlah kompleks dengan berbagai masalah kehidupan. Dari kehidupan yang kompleks tersebut terdapat beberapa permasalahan kehidupan yang mencakup hubungan antarmasyarakat, antarmanusia, manusia dengan Tuhannya, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Bagi seorang pengarang yang peka terhadap permasalahan-permasalahan tersebut, dengan hasil perenungan, penghayatan, dan hasil imajinasinya, kemudian menuangkan gagasan/ idenya tersebut dalam karya sastra. Karya sastra adalah suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni   (Wellek dan Warren, 1990: 3). Karya sastra merupakan segala sesuatu yang ditulis dan dicetak. Adapun menurut Sutejo dan Kasnadi karya satra bergulat dengan keindahan atau estetik (2010: 35). Dengan demikian, karya sastra merupakan karya imajinatif yang lahir dari sebuah gejala yang ada dalam masyarakat dengan pengemasan kindahan. Selain bertabur keindahan atau keestetikan, karya sastra juga sebagai bayangan atau pantulan keadaan kehidupan masyarakat.  Sebagai seorang pengarang,  karya sastra dijadikan alat komunikasi penyampaian pesan-pesan yang terkandung dalam karya sastra itu sendiri.

       Berkaitan dengan karya sastra sebagai bayangan atau pantulan keadaan masyarakat, menurut Watt yang diungkapkan oleh Damono di dalam bukunya Endraswara (2011: 81), bahwa fungsi sosial sastra adalah; (a) sebagai pembaharu atau perombak, (b) sebagai penghibur belaka, dan (c) sebagai pengajaran sesuatu dengan jalan menghibur. Masyarakat sebagai sasaran sekaligus sebagai penikmat karya sastra akan menilai seberapa jauh fungsi suatu karya sastra yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat. Dengan demikian, apakah karya sastra tertentu memiliki fungsi sosial politik, sosial spiritual, sosial budaya, atau yang lainnya, tergantung kesan dari masyarakat pembaca.
Karya sastra adalah cermin kehidupan masyarakat, sesuai pendapat Abrams yang diperjelas oleh Endraswara (2011: 89), bahwa sebuah novel tidak hanya mencerminkan “realitas” melainkan lebih dari itu memberikan kepada kita “sebuah refleksi realitas yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamika” yang mungkin melampaui pemahaman umum. Sebuah karya sastra tidak hanya mencerminkan fenomena individual secara tertutup melainkan lebih merupakan sebuah “proses yang hidup”. Karya sastra adalah adalah karya seni yang mediumnya sudah bersifat tanda yang mempunyai arti, yaitu bahasa (Pradopo, 2001: 47). Lewat medium bahasa karya sastra, berbicara mengenai manusia dan kemanusiaan, sedangkan manusia tidak terlepas dari keberadaannya sebagai makhluk sosial dan budaya. Pendapat tersebut sesuai dengan Wellek dan Warren (1992: 109) bahwa sastra menyajikan kehidupan dan kehidupan itu sebagian besar terdiri atas kenyataan sosial. Sehingga novel sebagai salah satu bentuk karya sastra sebagai bahan perenungan untuk mencari nilai-nilai kehidupan, pendidikan, serta pesan moral. Diharapkan memunculkan pemikiran-pemikiran yang positif bagi pembacanya, sehingga pembaca peka terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan sosial budaya.
Setiap kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat yang berwujud sebagai komunitas desa, atau kota, atau sebagai kelompok adat yang lain, bisa menampilkan suatu corak yang khas (Fathoni, 2006: 46). Kebudayaan merupakan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang susah untuk diubah.
 Kehidupan sosial budaya Jawa sangat erat dengan kehidupan masyarakat Jawa terutama pada masyarakat Jawa yang hidup di pedesaan (Kasnadi dan Sutejo, 2010: 107). Tradisi yang masih bercirikhas kehidupan tradisional yang sangat kental dengan alam. Kemajuan ilmu dan teknologi yang terhambat oleh sumber daya manusia, membuat kehidupan di pedesaan maupun di pegunungan masih jauh dari kemodernisasian.
Budaya Jawa sebagai budaya ketimuran mulai pudar pada masa kemasa. Munguak budaya Jawa seakan memasuki dunia yang penuh hiasan dari mistik, tahayul sampai dunia sanepan atau perlambang. Kehidupan yang unik dan penuh perhitungan membuat budaya Jawa mempunyai nilai yang sangat berharga. Dalam pandangan Endraswara (2010: iv) menyimak budaya Jawa, sama saja meneropong falsafah hidup orang Jawa secara total. Kodrat orang Jawa sejak dulu kala memang mesterius. Sedang kehidupan sosial dan kebudayaan orang Jawa sendiri dilatarbelakangi oleh sisa kebiasaan hidup pada zaman sebelumya (Yana, 2010: 11). Dari waktu kewaktu, ada yang tetap dan ada yang berubah dalam diri oarng Jawa. Mistik merupakan keyakinan hidup orang Jawa  yang telah lahir turun tumurun dari gnerasi ke generasi( Yana, 2010: 25). Dunia mistik identik dengan orang Jawa. Tidak heran, kalau banyak buku, majalah, dan tanyangan televisi yang berbaur sihir, ilmu hitam, atau berbagai kejadian aneh. Dunia mistik orang Jawa merupakan salah satu dunia mistik yang unik. Bukan karena prakteknya saja yang menembus alam bawah sadar manusia. Namun juga keterlibatannya dalam mengawal sejarah bangsa.  Seiring kemajuan jaman dan kemodernisasi, mistik tetap dipakai dalam pewujudan suatu tujuan.
Sebagian orang Jawa masih percaya adanya setan atau hantu yang megganggu manusia. Itulah sebabnya pada saat melakukan perjalanan ke manapun hendaknya berhati-hati, apalagi melewati hutan yang dianggap wingit atau angker (Enndraswara, 2010: 3). Dengan demikian mengungkap budaya Jawa sama halnya mengungkap falsafah hidup kita sebagai orang Jawa.
Novel Lanang merupakan sebuah karya sastra yang  akan membawa kita meruntuhkan blokade terhadap orang lain sebagai impersonalitas menuju sesuatu yang yang personal dengan menciptakan ruang intim. (Adi, Lanang. 2008). Tokoh yang ada di dalamnya mempunyai permasalaha yang rumit dan membingungkan. Permasalahan yang selalu muncul serta terus bertambah membuat tokoh di dalamnya mengalami gunjangan jiwa yang dasyat. Sehingga kebingungan dan kerumitan tersebut menimbulkan tingkah laku yang bersifal personal maupun individual.
Dalam novel Lanang diceritakan seorang dokter hewan yang bernama Lanang ditugaskan di daerah perdesaan.  Kehadiran wabah penyakit yang mesterius, sebagai tantangan dokter hewan Lanang dalam mengawali tugasnya. Wabah penyakit yang tidak sekedar muncul begitu saja, akan tetapi lahir dari proses kemajuan dari dunia kedokteran hewan. Djokosujatno (Lanang. 2008: xvi) menyebutkan bahwa, wabah penyakit mesterius tidak hanya berhubungan dengan sapi dan peternaknya, tetapi juga dengan lembaga-lembaga lain, koperasi, perhimpunan dokter hewan Nusantara, laboratorium, pemerintah, juga dengan gereja dan dukun.
Membaca Novel Lanang seakan berjalan di depan pertokoan. Berbagai warna kehidupan disajikan dengan berbagai konflik yang kompleks. Hal ini dikemukaan oleh Loekito (Lanang, 2008: xiii) bahwa  ada berbagai macam hal dipajang, ada yang cantik, ada yang kotor. Mulai dari urusan koperasi, manajemen, LSM, karakter flora-fauna, profesi dokter hewan, mistik, agama, kecelakaan, kloning, laboratorium, peternakan, libido, seks, penipuan, pelacuran, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu tidak mengherankan kalau novel Lanang menjadi novel terbaik dalam sayembara Dewan Kesenian Jakarta tahun 2006.
Yonathan Rahardjo penulis novel Lanang (2008) peraih penghargaan sastra sebagai salah satu Pemenang Lomba Novel Dewan Kesenian Jakarta 2006. Juga menulis buku tunggal: Avian Influenza, Pencegahan dan Pengendaliannya (2004) dan Kumpulan Puisi Jawaban Kekacauan (2004). Ia lahir  di Bojonegoro, Jawa Timur, 17 Januari 1969. Semasa sekolah menulis di media siswa SMPN 1 dan SMAN 2 Bojonegoro. Semasa kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya pernah menjadi wartawan Koran Harian Memorandum, manulis di media kampus dan organisasi masyarakat.(  Lanang, 2008: 415)
Dari uraian di atas judul penelitian ini adalah Aspek Sosial Budaya Jawa dalam novel Lanang Karya Yonathan Rahardjo.

B. Identifikasi Masalah
Dalam novel Lanang karya Yonathan Raharjo ini banyak disajikan baik secara tersurat dan tersirat tentang sosial budaya dengan setting daerah pegunungan. Selain itu juga tercermin kemajuan dalam dunia kedokteran hewan tentang pengkloningan transgenitik sebagai wujud dari riset ilmuan barat.  Adanya sosok  dokter hewan yang bernama Lanang yang kental dengan budaya timur yaitu budaya Jawa yang identik dengan kehidupan tradisional dan mistik. Ditambah kepercayaan masyarakat yang masih awam tentang dunia kedokteran hewan, sehingga masih menggunakan metode-metode tradisional yang kadang-kadang tidak rasional untuk mengatasi berbagai masalah mengenai hewan ternaknya.
            Berdasarkan uraian  latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
a.         Kehidupan batin orang Jawa dalam novel Lanang karya Yonathan  Rahardjo.
b.        Penggunaan Primbon dan kearifan lokal Jawa dalam novel Lanang karya   Yonathan Rahardjo.
c.         Etika orang Jawa dalam novel Lanang karya Yonathan Rahardjo.
d.        Pandangan orang Jawa terhadap alam semesta dalam novel Lanang karya Yonathan Raharjo.
e.         Kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa dalam membina keluarga dengan tata aturan menurut hukum adat yang berlaku dalam Novel Lanang karya Yonathan Rahardjo.
f.         Kehidupan orang Jawa yang selalu identik dengan dunia mistik dalam Novel Lanang karya Yonathan Rahardjo.

C. Pembatasan Masalah
Untuk menghindari meluasnya permasalahan maka penulis membatasi permasalahan pada:
a.       Kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa dalam membina keluarga dengan tata aturan menurut hukum adat yang berlaku dalam Novel Lanang karya Yonathan Rahardjo.
b.      Kehidupan orang Jawa yang selalu identik dengan dunia mistik dalam Novel Lanang karya Yonathan Rahardjo.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas didapatkan rumusan masalah sebagai berikut:
a.       Bagaimana kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa dalam membina keluarga dengan tata aturan menurut hukum adat yang berlaku dalam Novel Lanang karya Yonathan Rahardjo ?
b.      Bagaimana kehidupan orang Jawa yang selalu identik dengan dunia mistik dalam Novel Lanang karya Yonathan Rahardjo?

E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang dan perumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.       Untuk mendeskripsikan kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa dalam membina keluarga dengan tata aturan menurut hukum adat yang berlaku dalam Novel Lanang karya Yonathan Rahardjo.
b.      Untuk mendeskripsikan kehidupan orang Jawa yang selalu identik dengan dunia mistik dalam novel Lanang karya Yonathan Raharjo.

F. Manfaat Penelitian.
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:
a.    Secara Teoritis
       Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi tentang penentuan sikap-sikap yang seharusnya dimiliki manusia dan dapat memberikan manfaat terhadap perkembangan ilmu pengetahuan baik sosial maupun budaya, terutama budaya Jawa.
b.    Secara Praktis
       Penelitian ini diharapkan dapat mengajarkan bahwa terdapat banyak pelajaran yang didapatkan dari sebuah karya sastra (novel) sehingga bukan tidak mungkin dapat menarik minat baca masyarakat terhadap novel dan karya sastra yang lain.

G. Definisi Istilah
               Agar mempermudah dan tidak menimbulkan kesalah pahaman dalam memahami penelitian  yang berjudul Aspek Sosial Budaya Jawa dalam Novel Lanang Karya Yonathan Rahardjo, penulis menyertakan penegasan istilah dalam judul tersebut.
1.      Aspek sosial budaya Jawa adalah bagian atau tanda-tanda dari kehidupan masyarakat Jawa yang sudah menjadi tradisi turun menurun sejak dahulu.     
        Dalam penelitian ini aspek sosial budaya Jawa menurun menitik beratkan kepada  (a) kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa dalam membina keluarga dengan tata aturan menurut hukum adat yang berlaku, dan (b) kehidupan orang Jawa yang selalu identik dengan dunia mistik.
2.      Novel Lanang adalah novel pemenang dalam sayembara Dewan Kesenian Jakarta tahun 2006, karya Yonathan Raharjo.  Berukuran 12,5 x 20 cm dengan ketebalan 44o halaman. Diterbitkan oleh Pustaka Alvabet Anggota IKAPI, cetakan 1 Mei 2008.
BAB II
KAJIAN TEORI

A.   Kajian Teori
1.    Pengertian Sastra
Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah proses kreatif meliputi seluruh tahapan, mulai dari dorongan bawah sadar yang melahirkan karya satra sampai pada perbaikan terakhir yang dilakukan sastrawan (Wellel dan Warren, 1990: 3). Sedangkan menurut Lugxembrug, bahwa sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan semata-mata sebuah imitasi. Sastra bersifat otonom, tidak mengacu kepada sesuatu yang lain, dan sastra bersifat komunikatif (1986: 5).
Sastra, tidak seperti halnya ilmu kimia atau sejarah, tidaklah menyuguhkan ilmu pengetahuan dalam bentuk jadi. Sastra berkaitan erat dengan semua aspek manusia dan alam dengan keseluruhannya (Rahmanto, 1989: 17).  Dalam pandangan Damono, sastra menampilkan gambaran kehidupan; dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Sastra diciptakan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan (1978: 1).  Sehingga sastra dapat sebagai hiburan, pelajaran kehidupan dan sarana penyampain tujuan  yang dikemas dalam keindahan.
11
Banyak definisi sastra yang telah dikemukakan oleh para ahli sastra di atas. Pada dasarnya definisi tersebut mempunyai dasar pengertian yang sama, meskipun diuraiakan dengan kalimat dan bahasa yang berbeda. Secara intuitif, memang kita mengetahui apa yang disebut sastra itu, namun deskriftif dari pengertian yang ada pada pilihan itulah yang masih sulit dirumuskan dalam bentuk kalimat yang tepat.

2.    Hakikat Karya Sastra
Karya sastra dalam hal ini fiksi, menawarkan bentuk-bentuk realita kegidupan yang diidealkan oleh seorang pengarang sekaligus  sebuah karya yang penuh keestetikan. Karya Fiksi menurut Nurgiyantoro, menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan, diri sendiri, dan dengan Tuhan, yang merupakan hasil dari penghayatan, perenungan secara intens, perenungan terhadap hakikat hidup dalam kehidupan , perenungan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreativitas sebagi karya seni (1998: 3).  Lewat medium bahasa karya sastra, berbicara mengenai manusia dan kemanusiaan, sedangkan manusia tidak terlepas dari keberadaannya sebagai makhluk sosial dan budaya. Pendapat tersebut sesuai dengan pandangan Wellek dan Warren (1992: 109) bahwa sastra menyajikan kehidupan dan kehidupan itu sebagian besar terdiri atas kenyataan sosial.
Sedangkan menurut Plato dalam (Saraswati, 2003: 20) karya sastra adalah sebagi tiruan dari kenyataan. Karya sastra adalah adalah karya seni yang mediumnya sudah bersifat tanda yang mempunyai arti, yaitu bahasa (Pradopo, 2001: 47). Karya sastra adalah cermin kehidupan masyarakat, sesuai pendapat Abrams yang diperjelas oleh Endraswara (2011: 89), bahwa sebuah novel tidak hanya mencerminkan “realitas” melainkan lebih dari itu memberikan kepada kita “sebuah refleksi realitas yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamika” yang mungkin melampaui pemahaman umum. Sebuah karya sastra tidak hanya mencerminkan fenomena individual secara tertutup melainkan lebih merupakan sebuah “proses yang hidup”.
Berdasarkan bidang kajiannya wujud karya sastra meliputi, (1) sastra tulis berupa karya satra yang diwujudkan dalam bentuk tulisan atau cetakan, yaitu berupa puisi, cerpen, novelet, novel, prosa liris, dan drama, (2) sastra lisan ialah karya satra yang terekspresikan lewat bahasa lisan, (3) bidang kesenian dalam bidang sastra yaitu mengacu kepada sebuah pertunjukkan kesenian (Kasnadi dan Sutejo, 2010: 57).
3.  Pengertian Novel
       Novel mampu menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan berbagai peristiwa yang ruwet yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetail (Stanton, 2007: 90).  Selain memiliki alur cerita, novel juga memiliki tema; makna keseluruhan dari jalinan cerita yang ada, setting waktu, nada (irama cerita), karakteristik atau pengembangan dari karakter-karakter yang ada, dan juga dialog (Irawan,2008:57). Novel juga dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detil, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks dari pada cerpen (Nurgiantoro, 1998: 11). Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, novel yaitu karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat pelaku (2005: 788).
Dari beberapa pendapat di atas, novel dapat diartika sebuah karya yang panjang ceritanya di dalamnya menghadirkan berbagai masalah yang kompleks serta menonjolkan watak dan sifat pelaku, sehingga memerlukan waktu yang lama untuk menikmatinya.
a. Bentuk Novel
Berkaitan dengan novel, dalam dunia kesastraan  terdapat dua kategori mengenai novel yaitu novel serius dan novel populer.
1)    Novel Serius
       Novel serius biasanya berusaha mengungkapkan sesuatu yang  baru dengan cara pengucapan yang baru pula (Nurgiyantoro, 1998: 20). Maksud utama sebuah karya fiksi (novel) serius adalah memungkinkan pembaca membayangkan sekaligus memahami satu pengalaman manusia (Stanton, 2007: 6). Sehingga Novel serius hadir dalam wujud baru untuk menampilkan suatu pengalaman manusia.
2) Novel Populer
Novel populer adalah novel yang popular pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja (Nurgiantoro, 1998: 18). Karya jenis fiksi (novel) ini tidak akan mengulas keragaman yang ada dalam hidup. Meski kerap mendasarkan kisahnya pada kejadian nyata, fiksi popular (novel) tidak lebih sekedar tiruan dari apa yang telah diciptakan oleh pengarang lain (Stanton, 2007: 16). Dari paparan pendapat di atas dapt disimpulkan bahwa novel popular merupakan karya yang populer pada masa-masa tertentu yang bersandarkan pada karya lain.
b. Unsur-unsur Pembangun Novel
Untuk memahami karya sastra, diperlukan pemahaman terhadap unsur-unsur yang ada dalam karya sastra. Unsur-unsur yang terdapat dalam karya tidak akan menimbulkan nilai guna, jika unsur-unsur tersebut berdiri sendiri dan tidak saling berkaitan. Tiap-tiap bagian akan menjadi berarti apabila terdapat hubungan antara bagian yang satu dengan lainnya, serta bagaimana sumbangannya terhadap keseluruhan teks sastra yang tercipta.
Unsur-unsur pembangun karya novel terdapat dua, yaitu unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik. Secara sederhana, Unsur ekstrinsik adalah semua unsur-unsur  yang  berada diluar karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi karya sastra  (Nurgiyantoro, 1998: 23). Unsur ekstrinsik meliputi hubungan karya sastra dengan religi, politik, sosiologi, psikologi, sejarah dan sebagainya.
Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra dari dalam karya sastra itu sendiri (Nurgiyantoro, 1998: 23). Unsur intrinsik terdiri dari tema, tokoh dan penokohan, plot (alur cerita), setting (pelataran), sudut pandang (point of view), style (gaya), pesan (amanat) (Kasnadi & Sutejo, 2010: 6).
1) Tema
Tema dalam sebuah karya sastra, merupakan salah satu dari sejumlah unsur pembangun cerita yang secara bersama membentuk keseluruhan sebuah cerita. Unsur-usur intrinsik dalam karya sastra akan bermakna jika diikat oleh sebuah tema.
Istilah tema menurut Charbach berasal dari bahasa Latin yang berarti tempat meletakkan suatu perangkat karena tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal pengarang dalam memaparkan karya yang diciptakannya (Aminuddin, 1995: 91).
Tema adalah makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana. Tema dapat bersinonim dengan ide utama (central idea) dan tujuan utama (central purpose) ( Nurgiyantoro, 1998: 70).
Dalam Dictionary of World Literature, tema diartikan sebagai subjek wacana, topik umum, atau masalah utama yang dituangkan ke dalam cerita (Nurgiyantoro, 1998: 80).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa, tema pada hakikatnya merupakan gagasan dasar dalam karya sastra yang digunakan pengarang untuk mengembangkan cerita.
2) Tokoh dan Penokohan
Peristiwa dalam karya sastra selalu diperankan oleh tokoh atau pelaku-pelaku tertentu. Pelaku yang memerankan peristiwa dalam cerita disebut tokoh (Aminuddin, 1995: 79).
Tokoh cerita (character), menurut Abrams dalam (Nurgiyantoro, 1998: 165). adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
Tokoh dalam novel selain berfungsi untuk memainkan cerita, juga berperan untuk menyampaikan ide, motif, plot, dan tema yang diangkat oleh pengarangnya. Konflik yang terjadi dalam suatu cerita tidak terlepas dari peran dan karakter para tokohnya (Kasnadi & Sutejo, 2010: 16).
Seorang tokoh yang memiliki peranan penting dalam suatu cerita disebut dengan tokoh inti atau tokoh utama. Sedangkan tokoh yang memiliki peranan tidak penting karena pemunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku utaam disebut tokoh tambahan atau tokoh pembantu.
Penokohan dan karakterisasi sering juga disamakan juga artinya dengan karakter dan perwatakan yang menunjuk pada tokoh-tokoh tertentu. Menurut Jones, penokohan dalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 1998: 165). Penokohan merujuk pada apa yang disebut dengan karakter atau perwatakan tokohnya (Kasnadi dan Sutejo, 2010: 12)
Jadi dapat disimpulkan bahwa keberadaan tokoh dan penokohan atau perwatakan para tokoh tidak dapat dipisahkan, keduanya saling mengisi dan melengkapi sehingga terwujud suatu cerita yang utuh yang diperankan.
3)  Alur Cerita/ Plot
       Untuk menyebut plot, secara tradisional, orang juga sering mempergunakan istilah alur atau jalannya cerita, sedangkan dalam teori-teori yang berkembanng dikenal adanya istilah struktur naratif, susunan, dan sujet (Nurgiantoro, 1998: 110)   Pengertian alur dalam novel pada umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peritiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita (Aminuddin, 1995: 83). Alur merupakan tulang punggung cerita (Stanton, 2007: 28). Alur atau jalannya cerita dapat diartikan sebagai tahapan-tahapan rangkaian cerita yang merupakan unsur yang terpenting dalam sebuah novel.
4)  Latar /Setting
Menurut Abrams dalam (Nurgiyantoro, 1998: 216)  pengertian setting/ latar adalah  tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar juga dikatakan Robert Stanton sebagai lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung (2007: 35). Dari beberapa pandangan mengenai latar tersebut dapat diambil kesimpulan, latar sebagi tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang terkait dalam cerita sebuah karya sastra khusunya novel.
5) Sudut Pandang/ Point of View
Sudut pandang (point of view) merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana dalam menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membantuk cerita dalam sebuah karya fiksi (Kasnadi dan Sutejo, 2010: 22). Stevick menyebutkan bahwa sudut pandang dapat disamaartikan dengan istilah pusat pengisahan (focus of narration). Sedangkan  menurut Genette, sudut pandang diistilahkan fokalisasi (focalization), yang lebih dekat berhubungan dengan pengisahan (Nurgiyantoro, 1998: 249).
6) Gaya/Style
       Dalam sastra, gaya adalah cara pandang dalam menggunakan bahasa (Stanton, 2007: 61). Sesuai pendapat Abram dalam Kasnadi dan Sutejo, style atau gaya bahasa terdiri dari unsure fonologi, sintaksis, leksikal, dan retorika, yang berupa karakteristik penggunaan bahasa figuratis, pencitraan, dan sebagainya (2010: 25). Style, atau wujud performasian  kebahasaan, hadir kepada pembaca dalam sebuah fiksi melalui proses penyeleksian dari berbagai bentuk linguistik yang berlaku dalam system bahasa itu (Nurgiantoro, 1998: 279). Dengan demikian, bermacam-macam bentuk style atau gaya bahsa yang digunakan oleh pengarang sesuai dengan tujuan atau sasaran dari sebuah karya sastra.
7) Pesan/ Amanat
       Melalui cerita, sikap dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan atau diamanatkan (Nurgiantoro, 1998: 321). Pesan ini dalam kajiannya dapat berupa, pesan moral yang disampaikan, pesan relegiusitas,  nilai kritik sosial, dan nilai pesan lainya seperti nilai kekeluargaan, pendidikan, adat, dan sebagainya   ( Kasnadi dan Sutejo: 29).
4. Sosiologi Sastra
       Sosiologi sastra berasal dari kata soiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari akar kata sosio (masyarakat) dan logos (ilmu). Sastra berasal dari akar kata sas (mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan instruksi). Akhiran tra yang berarti alat, sarana (Ratna, 2009: 1). Pengarang sebagai seorang zender (pengirim pesan) akan menyampaikan berita zaman lewat cermin dalam teks kepada ontvanger (penerima pesan) berati bahwa karya sastra sekaligus merupakan alat komunikasi (Endraswara, 2011: 89). Sehingga sosiologi sastra merupkan ilmu yang berkaitan dengan  kemasyarakatan yang ada dalam sebuah karya sastra sebagai alat penyampaian pesan atau komunikasi antara pengarang dan pemabaca
Sosiologi satra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Kehidupan sosial akan menjadi pemicu lahirnya karya satra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu merefleksikan zamannya (Endraswara, 2011: 77). Sosiologi berusaha mencari tahu bagaimana masyarakat itu ada, bagaimana mereka berlangsung. Melalui sosiologi dapat diperoleh penjelasan utuh dan menyeluruh dari sisi-sisi masyarakat lengkap dengan pernik dan detail yang menyertainya.  
Rene Wellek dan Austin Werren menyatakan sosiologi satra yaitu  mengkaitkan sastra dengan situasi tertentu, atau dengan system politik, ekonomi dan sosial tertentu. Penelitian dilakukan untuk menjabarkan pengaruh masyarakat terhadap sastra dan kedudukan sastra dalam masyarakat (1990: 110). Ditegaskan pula oleh Sutejo dan Kasnadi, bahwa sosiologi merupakan ilmu yang mengkaji segala aspek kehidupan sosial manusia, yang meliputi masalah perekonomian, politik, keagamaan, kebudayaan, pendidikan, ideologi dan aspek yang lain (2010: 56). Sehingga, tujuan sosiologi sastra adalah meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan (Ratna, 2009: 11).
Menurut Rene Wellek dan Austin Werren (1990: 111) mengklasifikasikan  sosiologi sastra sebagai berikut:


a.       Sosiologi Pengarang
       Masalah yang berkaita denga sosiologi pengarang adalah jenis kelamin pengarang, umur pengarang, tempat kelahiran pengarang, status pengarng, profesi pengarang, ideologi pengarang, latar belakang pengarang, ekonomi pengarang, agama dan keyakinan pengarang, tempat tinggal pengarang, dan kesenangan pengarang (Sutejo dan Kasnadi, 2010: 59).
b.      Sosiologi Karya Sastra
       Masalah yang berkaitan dengan sosiologi karya satra adalah isi karya sastra tujuan karya satra, dan hal-halyang tersirat dalam karya sastra dan yang berkaitan dengan masalah sosial.
c.       Sosiologi Pembaca
       Masalah yang berkaitan dengan sosiologi pembaca ini adalah masalah pembaca dan dampak sosial karya satra terhadap masyarakatnya. Menurut Sutejo dan Kasnadi dalam kaitannya sosiologi pembaca ini dapat dikaji dari jenis kelamin pembaca, umur pembaca, pekerjaan pembaca, kegemaran pembaca, status soail pembaca, profesi pembaca, dan tendensi pembaca (2010: 59).
       Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini mengacu pada pendapat Rene Wellek dan Austin Werren yang kedua, yaitu sosiologi sastra yang mempermasalahkan tentang karya sastra itu sendiri.

5.    Pendekatan Sosiobudaya
       Sesuai teori Taine yang dikemukakan Junus dalam (Endraswara, 2011: 94), bahwa karya sastra memang dapat dipengaruhi oleh kondisi sosiobudaya masyarakat, yaitu ras, waktu, dan  lingkungan. Dengan demikian, suatu karya sastra yang lahir  akan terpengaruhi oleh tingkat golongan masyarat tertentu sesuai kondisi pengarang itu sendiri.
 Asumsi dasar kajian sosiobudaya berasal dari Grebstein yang ditegaskan oleh Damono dalam (Endraswara, 2011: 92), bahwa:
a.    Karya sastra tidak dapat dipahami selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya.
b.    Gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk dan teknik penulisannya, bahkan boleh dikataka bahwa bentuk dan teknik itu ditentukan oleh gagasan tersebut.
c.     Setiap karya sastra yang bisa bertahan lama, pada hakikatnya suatu moral, baik dalam hubungannya dengan kebudayaan sumbernya maupun dalam hubungannya dengan orang-seorang.
d.    Masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah: pertama, sebagai suatu kekuatan atau faktor material istimewa, dan kedua, sebagai tradisi-yakni kecendrungan-kecendrungan spiritual maupun cultural yang bersifat kolektif.
e.    Kritik sastra seharusnya lebih dari sekedar perenungan estetis yang tanpa pamrih, ia harus melibatkan diri sendiri dalam suatu tujuan tertentu.
f.     Kritikus bertanggung jawab baik kepada sastra masa silam maupun masa datang.

 Dari asumsi demikian yang tampak bahwa penelitian sosiologi sastra yang lengkap, seharusnya terkait dengan latar belakang sosiokultural masyarakat. Serta sebagai pendekatan yang mengungkapkan aspek sastra dengan refleksi dokumen sosiobudaya (Endraswara,2011: 93). Sehingga pendekatan ini, hanya mengungkap persoalan kemampuan karya sastra mencatat sosiobudaya masyarakat tertentu.
6. Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Jawa
               Setiap kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat yang berwujud sebagai komunitas desa, atau kota, atau sebagai kelompok adat yang lain, bisa menampilkan suatu corak yang khas (Fathoni, 2006: 46). Kebudayaan merupakan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang susah untuk diubah. Kehidupan sosial budaya Jawa sangat erat dengan kehidupan masyarakat Jawa terutama pada masyarakat Jawa yang hidup di pedesaan (Kasnadi dan Sutejo, 2010: 107). Tradisi yang masih bercirikhas kehidupan tradisional yang sangat kental dengan alam. Kemajuan ilmu dan teknologi yang terhambat oleh sumber daya manusia, membuat kehidupan di pedesaan maupun di pegunungan masih jauh dari kemodernisasian.
               Keberadaan hidup orang Jawa, tidak lepas dari kehidupan sosial dan budaya orang Jawa yang memiliki corak dan ragam. Sedang kehidupan sosial dan kebudayaan orang Jawa sendiri dilatarbelakangi oleh sisa kebiasaan hidup pada zaman sebelumya (Yana, 2010: 11). Sedangakan kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa dalam membina keluarga dengan tata aturan menurut hukum adat yang berlaku dapat berupa (Yana, 2010:  13-14):
a.    Rumah Tangga dan Keluarga Inti
        Perjalanan hidup manusia akan mengalami perputaran dan beralih peran. Seorang yang telah berusia remaja, antara pria dan wanita akan menikah untuk membina keluarga. Biasanya untuk pertama kalinya, keduanya masih hidup menetap dan bergantung pada orang tua. Namun selang beberapa waktu, mereka harus hidup terpisah untuk mempersiapkan kehadiran seorang anak.
b.    Keinginan Orang Jawa untuk Mempunyai Anak
 Bagi keluarga orang desa maupun keluarga orang kota, mempunyai anak adalah sesuatu yang sangat didambakan. Orang Jawa menganggap bahwa anak dapat memberikan suasana hangat di dalam keluarga, dan suasana hangat itu juga menyebabkan keadaan damai dan tenteram dalam hati. 
c.       Adat Memberi Nama
 Orang Jawa pada umumnya tidak tahu mengenai upacara pemberian nama. Kebanyakan keluarga memberi nama pada bayi pada saat ia lahir, yang disertai dengan upacara slametan brokohan. Anak Jawa selalu dipanggil dengan nama panggilan, yang sering beubah-ubah selama ia masih anak-anak. Nama baru menjadi penting apabila ia kelak menjadi dewasa.
d.    Pertumbuhan Anak dalam Keluarga
Orang yang pertama dan utama adalah ibu, orang yang selalu dilihatnya pada saat ia bangun di pagi hari, menggendongnya dengan selendang, menyusui, mengajak berbicara atau menyanyi lagu-lagu untuk sampai tidur. Sedangkan ayah adalah orang yanag kedua, yang mungkin hanya akan ditemuinya pada waktu-waktu tertentu saja.
Di dalam keluargalah seorang anak dikenalkan berbagai aturan, norma, dan nilai-nilai yang baik. Seorang anak dari keluarga bertata kramabaik akan bertata karma baik pula, dan begitu sebaliknya (Yana, 2010: 138).
7.  Kehidupan Orang Jawa Selalu Identik dengan Dunia Mistik.
       Selain dalam membina keluarga, kehidupan orang Jawa selalu identik denga dunia mistik. Mistik merupakan keyakinan hidup orang Jawa  yang telah lahir turun tumurun dari gnerasi ke generasi( Yana, 2010: 25). Sebagian orang Jawa masih percaya adanya setan atau hantu yang megganggu manusia. Itulah sebabnya pada saat melakukan perjalanan ke manapun hendaknya berhati-hati, apalagi melewati hutan yang dianggap wingit atau angker (Enndraswara, 2010: 3). Dengan demikian masyarakat Jawa masih kental dengan dunia mistik, semua lakunya atau tindak tanduknya masih menggunakan perhitungan yang pada intinya hanya ingin kehidupannya selamat.
               Dunia mistik identik dengan orang Jawa. Tidak heran, kalau banyak buku, majalah, dan tanyangan televisi yang berbaur sihir, ilmu hitam, atau berbagai kejadian aneh. Dunia mistik orang Jawa merupakan salah satu dunia mistik yang unik. Bukan karena prakteknya saja yang menembus alam bawah sadar manusia. Namun juga keterlibatannya dalam mengawal sejarah bangsa.  Seiring kemajuan jaman dan kemodernisasi, mistik tetap dipakai dalam pewujudan suatu tujuan.
B.    Kerangka Pikir Penelitian
 Penulisan karya sastra merupakan penyampaian ide dan gagasan pengarang, demikian juga dengan novel. Ide dan gagasan pengarang berdasarkan imajinasi maupun pemikiran yang terjadi disekitarnya. Penyampaian ide melalui kejadian, konflik maupun watak yang dimunculkan dalam tokoh ciptaan.
Penelitian ini dengan menggunakan pendekatan sosiologis sastra untuk mengetahui aspek sosial budaya Jawa dalam novel Lanang karya Yonathan Raharjo. Novel Lanang karya Yonathan Raharjo merupakan karya sastra yang sangat kental dengan budaya Jawa . Novel pembangun jiwa yang di dalamnya terkandung ajaran yang terbungkus rapi tanpa meninggalkan segi keestetikaannya. Kisah dokter Lanang yang yang rumit dikemas dengan kevulgaran dan keerotisan. Kebudayaa Jawa yang terdalam sebagai alat memecahkan segala permasalahan dikemas secara rapi, dengan ajaran-ajaran moral. Dengan pendekatan sosiologi sastra yang didalamnya terdapat pendekatan sosiobudaya, diharapakan terdapat aspek sosial budaya yang dapat ditarik dari sudut pandang budaya Jawa.
Budaya Jawa yang memfokuskan kepada keluarga dan kebiasan dunia mistik yang selalu menyelimuti langkah masyarakat Jawa, dengan pemcaan yang serius ataupun pemahaman terhadap teks karya sastra akan jelas keberadaannya.






METODE PENELITIAN



A.    Desain Penelitian

Pendekatan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Peneliti mendeskripsikan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan hubungan kausal fenomena yang diteliti. Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data ilmiah, data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya (Ratna, 2010: 47).

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi, mendeskripsikan, dan menganalisis aspek sosial budaya Jawa dalam Novel Lanang KaryaYonathan Rahardjo.

Penelitian ini didasarkan atas beberapa pertimbangan sebagai berikut:

1.    Fokus penelitian ini adalah aspek sosial budya Jawa yang terkandung dalam Novel Lanang KaryaYonathan Rahardjo.

2.    Kajian nilai tersebut dimaksudkan untuk mengungkap, memilah, dan menarik simpulan makna aspek sosial budaya Jawa dalam Novel Lanang KaryaYonathan Rahardjo.

3.    Kajian penelitian ini dimaksudkan tidak untuk menguji suatu teori,      melainkan mengumpulkan data berupa deskripsi atau kalimat-kalimat dalam dalam Novel Lanang KaryaYonathan Rahardjo.

29




B. Objek Penelitian

Objek adalah unsur-unsur yang bersama-sama dengan sasar penelitian, kata dan konteks data. Objek penelitian berupa individu, benda, bahasa, karya sastra, budaya dan sebagainya. Objek penelitian ini adalah kehidupan aspek sosial budaya Jawa dalam Novel Lanang KaryaYonathan Rahardjo. Dalam penelitian ini aspek sosial budaya Jawa menitik beratkan kepada (a) kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa dalam membina keluarga dengan tata aturan menurut hukum adat yang berlaku, dan (b) kehidupan orang Jawa yang selalu identik dengan dunia mistik.

Sumber data dalam penelitian ini adalah Novel Lanang, sebuah novel tentang kemajuan dalam dunia kedokteran hewan, yang dikarang oleh Yonathan Rahardjo, dan  diterbitkan oleh Pustaka Alvabet pada tahun 2008 cetakan pertama. Sampul buku berwarna hitam yang dipadukan warna coklat dan kuning.  Bergambar seorang laki-laki  di bawah pohon dan sedang menatap bulan purnama di atas pegunungan. Tulisan judul berwarna kuning dengan Ukuran buku 12,5 x 20 cm dan Tebal buku 440 halaman.

Novel Lanang mengangkat kisah kemanusiaan dokter hewan dan seluk-beluknya secara rinci, gamblang dan imajinatif dalam menyelidiki misteri kematian hewan dalam jumlah besar, yang memengaruhi hajat hidup masyarakat dan bangsa. Jatuh bangunnya dokter hewan Lanang dalam menyelidiki kasus penyakit penyebab kematian hewan itu merupakan cermin apa yang sesungguhnya terjadi di bidang kedokteran hewan dan peternakan di tanah air, dengan menggunakan dasar ilmiah dan dikembangkan sebagai fiksi dengan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi.



C.  Teknik Kajian

1. Teknik Pengumpulan Data

Secara umum teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitataf Maershall dan Rossman dalam ( Prastowo, 2010: 21) teknik pengumpulan data terdiri dari berpartisipasi di lapangan, pengamatan secara langsung, wawancara mendalam, dan analisis dokumen serta materi budaya. Teknik yang digunakan penulis untuk mengumpulkan berbagai sumber data dalam penelitian kali ini adalah metode dokumentasi (documentation research methode). Model dokumentasi yaitu model penelitian dengan mencari data mengenai hal-hal atau variabel berupa, buku-buku ynag berkaitan dengan judul penelitian dan website yang berhubungan dengan judul penelitian , diharapkan terkumpulnya dokumen atau berkas untuk melengkapi seluruh unit kajian data yang akan diteliti dan dianalisis lebih lanjut.

Dalam penelitian ini, penulis mengkaji aspek sosial budaya Jawa dalam Novel Lanang KaryaYonathan Rahardjo. Teknik pengumpulan data atau penyediaan dilakukan dalam penelitian ini adalah teknik pustaka, membaca dan catat. Teknik pustaka yaitu mempergunakan sumber-sumber tertulis yang digunakan dipilih sesuai dengan masalah dan tujuan pengkajian sastra, dalam hal ini ditinjau dari segi sosiologi sastra.

Adapun langkah-langkah yang dilakukan untuk teknik pengumpulan data sebagai berikut:

a.    Membaca keseluruhan teks novel Lanang karya Yonathan Rahardjo

b.    Memindai teks yang sesuai dengan permasalahan yang diangkat, yaitu kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa dalam membina keluarga dengan tata aturan menurut hukum adat yang berlaku dan kehidupan orang Jawa yang selalu identik dengan dunia mistik.

c.    Mengkelompokkan atau menandai teks dengan penanda yang berbeda agar mudah untuk membedakannya.

2.  Teknik Analisis Data

Proses menganalisis data yaitu penulis menggunakan metode deskriptif analisis. Metode tersebut terdiri dari dua kegiatan,yaitu penyajian data dan penarikan kesimpulan/verifikasi.

Sesuai dengan pendekatan sosiologi sastra, langkah yang bisa ditempuh menurut Junus dalam (Endraswara, 2010: 93) sebagai berikut:

a.    Unsur sastra diambil terlepas dari unsure lain, kemudian dihubungkan dengan suatu unsur sosiobudaya.

b.    Mengambil image atau citra tentang “sesuatu” dalam suatu karya sastra.

c.    Mengmbil motif atau tema yang keduanya berbeda secara gradual



Sebagaimana metode kualitatif dasar dari metode analisis adalah penafsiran (Ratna, 2010: 49). Dari uraian di atas maka analisis pada penelitian ini adalah mengkaitkan aspek budaya Jawa terhadap aspek budaya Jawa yang ada dalam novel Lanang karya Yonathan Rahardjo, dengan penafsiran data yang telah didapat akan terlihat aspek budaya Jawa yang ada dalam novel tersebut.

Adapun langkah-langkah yang dilakukan untuk teknik analisis data sebagai berikut:

a.    Menyeleksi

       Menyeleksi teks novel Lanang yang sesuai dengan objek penelitian yaitu; (a) kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa dalam membina keluarga dengan tata aturan menurut hukum adat yang berlaku, dan (b) kehidupan orang Jawa yang selalu identik dengan dunia mistik.

b.    Mengklasifikasi

       Menggolongkan teks yang sudah diseleksi sesuai dengan objek penelitian yaitu; (a) kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa dalam membina keluarga dengan tata aturan menurut hukum adat yang berlaku, dan (b) kehidupan orang Jawa yang selalu identik dengan dunia mistik.

c.    Menafsirkan

       Menjelaskan teks yang sudah diklasifikasi sesuai dengan objek penelitian yaitu; (a) kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa dalam membina keluarga dengan tata aturan menurut hukum adat yang berlaku, dan (b) kehidupan orang Jawa yang selalu identik dengan dunia mistik.

d.   Memaknai

        Mengartikan maksud teks yang sesuai dengan objek penelitian yaitu; (a) kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa dalam membina keluarga dengan tata aturan menurut hukum adat yang berlaku, dan (b) kehidupan orang Jawa yang selalu identik dengan dunia mistik dari penulis atau pengarang.

e.    Mengambil kesimpulan.

        Mengambil keputusan dari proses menafsirkan dan memaknai teks yang sesuai dengan objek penelitian yaitu; (a) kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa dalam membina keluarga dengan tata aturan menurut hukum adat yang berlaku, dan (b) kehidupan orang Jawa yang selalu identik dengan dunia mistik sebagai pendapat akhir peneliti.

Dalam hal ini penelititi mendiskripsikan objek penelitian yaitu secara induktif. Penarikan kesimpulan berdasarkan keadaan yang khusus untuk diperlakukan secara umum.

 













 














BAB I

Puisi

"Awan" Oleh:  Kang Win Awan mulai menylimuti matahari Cahaya panas kian menghilang Bak sirna dalam ke Hirupikukan Tak ada awan, t...