Analisis Gaya Bahasa dalam cerpen Bawuk Karya Umar Kayam[1]
Oleh: Erwin Purwanto[2]
Hakikat karya
sastra, termasuk didalamnya cerpen adalah intensifikasi bahasa sebagai alat
keindahan. Cerpen menggunakan media bahasa sebagai sarana estetis
terpentingnya. Bahasa yang dipergunakan pengarang bukanlah sekedar bahasa
sehari-hari melainkan bhasa yang berciri estetis dan dapat mengungkapkan imaji,
ekspresi jiwa, impresi, sikap, dan pesan tersembunyi dari pengarangnya.
Kekhasan yang terdapat dalam karya Umar Kayam antara
lain(1) karakteristik kepengarangan yang dipengaruhi kepribadian “Jawa”nya (2)
kekuatannya melukiskan peristiwa mengenai alam pedesaan yang sangat menawan;
(3) penggunaan bahasa Jawa masih terlihat dalam karyanya; menggunakan bahasa
yang lugas, sederhana, dan mudah dimengerti tanpa mengurangi bobot estetika;(4)
aspek religius yang dipengaruhi oleh kehidupan keseharian yang bernafaskan
islam; dan (5) realisme yang tidak
berpihak, baik mendukung maupun menentang karekter-karektenya[4].
Salah satu
kekhasan dalam cerpen Bawuk karya Umar Kayam dalam cerpenya adalah faktor
permaianan bahasa sebagai media estetika. Ungkapan-ungkapan kalimat yang
susunnya memilik pencitraan tersendiri sebagaimana penggayabahasaan(majas).
Majas dipergunakan pengarang untuk membangkitkan imajinasi pembaca atau
pendengarnya. Berikut analisis kajian atas penggunaan gaya bahasa yang dipergunakan dalam cerpen Bawuk.
Alegori
Alegori
merupakan gaya
bahasa yang menyatakan sesuatu hal dengan perlambang. Perlambangan dalam
pengertian gaya
bahasa ini adalah perlambangan dengan menggunakan perbandingan penuh[5].
Alegori yang digunakan Umar Kayam dalam pemilihan pengucapannya tampak dalam
kutipan data berikut:
1)
Disiplin dan efisiensi Bawuk bukanlah disiplin dan
efisien jam Westminster , tetapi kelincahan burung
kepodang di pagi hari. Meloncat-loncat, berkicau-kicau, tetapi toh selalu tidak
pernah gagal menyelesaikan tugas hidupnya mengumpulkan makanan buat
anak-anaknya di sarang.(hal 227)
2)
Kesukaan baginya adalah merupakan “bagian dari upacara”
yang mesti dia penuhi dalam fungsinya
sebagai seorang onder dan priyai yang terpandang. (hal 228)
3)
Seorang penari telah mulai menarikan saru tarian
gamyong. Gerakannya luwes, tangan-tangnnya yang melengkung seperti gendewa
panah itu melentur-lentur dengan indahnya.
4)
Makanan berlimpah-limpah seperti air mengalir, mbayu mili kata orang jawa.(hal 228)
Dua kutipan
diatas menunjukan, bagaimana gaya
bahasa perbandingan penuh dipergunakan pengarang. Sebuah ilustrasi perbandingan
yang penuh, kedisiplinan, keefisien dan kelincahan Bawuk dengan sifat kegesitan
seekor burung kepodang yang setiap hari menyelesaikan tugas-tuganya dengan
senang hati. Demikian juga, seorang onder
yang melakukan perintah sang bupati untuk menari dengan seorang penari
ledek yang mana tidak disukainya dilakukan dengan penuh ketaan dan penghormatan
sebagi rasa nyarat penghoratan. Dan juga, ilustrasi seorang penari yang anggun
dengan kelenturan tangannya dan melengkung-lengkung penuh ekspresi jiwanya.
Kelengkungannya sama halnya gendewa panah yang melengkung indah dan mudah untuk
memanah. Selain itu, Hidangan yang melimpah ruah seaakan-akan membanjiri tempat
acara. Berlimpah-ruahnya makanan sama halnya sungai mengalir yang tidak
berhenti-henti.
Asosiasi
Sosiasi
termasuk ke dalam gaya
bahasa perbandingan. Asosiasi memperbandingkan sesuatu dengn keadaan lain yang
sesuai dengan keadaan/gambaran dan sifatnya[6]. Asosiasi
yang digunakan Umar Kayam dalam pemilihan pengucapannya tampak dalam kutipan
data beriku:
5)
“Paan! Ayo lekas ganti. Tapal kudanya. Masa kuda onderan larinya pincang kaya anak
kampong kudisan.(hal 231)
6)
“Ayo, si manis disirami! Biasanya kokoknya nyaring,
kali ini kok kaya tersumbat kodok tenggorokannya. Masa ayam onderan suaranya
kaya bangau sawah. (hal 231)
Data (5)
melukiskan sosok hewan kuda yang laringya tidak skencang kuda biasanya.
Pengasosiasikan hewan kuda terhadap keadaan anak kampong yang kudisan
berlari-lari dengan terbopoh-bopoh dengan menanggung malu penyakit kudisannya.
Pada data (6) pelikisan kokok ayam yang tidak merdu dan eidak enak didengar,
diasosiasikn suara burung bangau sawah yang jarang berkokok dan cenderung
bersuara pelan atau tidak nyaring senyaring
ayam jantan.
Metafora
Gya bahasa ini
merupakan kiasan seperti perbandingan pula, akan tetapi gaya ini tidak menggunakan kata pembanding
seperti gaya
bahasa yang lainnya[7]. Metafora
yang digunakan Umar Kayam dalam pemilihan pengucapannya tampak dalam kutipan
data beriku:
(7)
Nyonya Suryo melipat-lipai surat Bawuk yang pendek itu. Kenapakah pada
senja itu, pada waktu dia mencoba mengenang anaknya yang bungsu itu justru masa
kanak-kanaknya yang paling jelas terkenang.(hal 232)
Pada data (7) Umar Kayam menyuguhkan
ilustrasi kepada pembaca, yang mana
susana yang begitu terharu terselip pertanyaan tentang senja.Perbandingan yang
membandingkan tentang kekewatirannya
kepada bawuk yang sedang dilanda masalah politik yang menyelimutinya.
Hiperbola
Hiperbola
merupakan gaya
bahasa yang dipakai untuk melukiskan sesuatu keadaan secara berlebihan daripada
sesungguhnya [8]. Hiperbola
yang digunakan Umar Kayam dalam pemilihan pengucapannya tampak dalam kutipan
data beriku:
(8)
Tahu-tahi orang berlari-lari meneriakkan bahwa dukuh B
telah diduduki oleh tentara. Tentara ternyata telah bergerak dengan gesit,
segesit siluman.(hal 238)
(9)
Embun membasahi tubuh mereka yang letih yang telah
sehari penuh mereka peras dengan habis-habisan dalam percobaan mereka yang gila
melawan suatu tentara yang terlatih.(hal 239)
Pada data (8)
penggambaran kekuatan tentara yang lincah dan gesit, dibandinggan kekesitan
siluman yang lari secepat kilat. Demikian juga, (9)para penduduk desa dengan
ekstra melawan kekuatan tentara yang mana telah menghbiskan keringat seperti
memeras baju samapi kering.
Personifikasi
Personifikasi
adalah gaya
bahasa perbandingan yang membandingkan benda mati atau tidak bergerak
seolah-olah bernyawa dan dapat berperilaku seperti manusia[9].
Personifikasi yang digunakan Umar Kayam dalam pemilihan pengucapannya tampak
dalam kutipan data beriku:
(10)
Kepala-kepala kijang yang terpancang di kiri dan di
kanan masih menunduk, keberatan memikul tanduk-tanduknya persis seperti sekian
tahun yang lalu di setenan.(hal 243)
(11)
Tetapi karena waktu telah tidak terlalu bermurah hati
di dalam memberi puluang kepadanya…(hal 246)
Pada data (10)
majas persinifikasi diwujudkan kepala kijang yang seakan-akan bertingkah
seperti manusia yang memikul beban penderitaan yang setiap saat bisa mengancam
nyawanya, mengilustrasikan keadaan bawuk. Selain itu, (11)dalam majas ini Umar
Kayam menyuguhkan gambaran waktu yang tidak memberikan kesempatan kepada
manusia untuk berhenti dan berbalik arah. Waktu digambarkan sosok manusia yang
kejam tidak brmurah ti dan terasa kejam bagi yang merasakannya.
Antitesis
Antitesis
termasuk dalam gaya
bahasa pertentangan. Antitesis sendiri merupakan jenis gaya bahasa yang mempergunakan kata-kata
secara berlawanan[10]. Antitesis
yang digunakan Umar Kayam dalam pemilihan pengucapannya tampak dalam kutipan
data beriku:
(12)
Alangkah muda dan tuanya anaknya itu. (hal 234)
(13)
Ayah-ibunya, penbantu-penbabtunya semua seisi rumah
mesti mengetahuinya. (hal 226)
Pada data (12)
penggunaan majas pertentangan antitesi
yaitu anata kata muda dan tua yang merupakan kta yang sling berlawanan.
Demikian halnaya(13) penggunaan kata bapak ibu merupkan kata-kata yang
bertentangan sehingga keeksttetonya akan terlihat.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa gaya bahasa yang digunakan Umar Kayam dalam cerpennya Bawuk sebagai berikut:(i) alegori, (ii) asosiasi, (iii) metafora, (iv)
hiperbola, (v) personifikasi, dan (vi) antitesis.
*******
[1] Tugas
mata kuliah Pengkajian Prosa Program strata (S1) Pendidikan Bahasa dan Sastra
STKIP PGRI Ponorogo yang diampu Drs. Sugianto, M.Pd
[2]
Mahasiswa PBSI Reguler A 2007 Stkip PGRI Ponorogo.
[3] Sutejo,
Stilistika,Yogyakarta :Pustaka Felicha:2010.hal
26
[5] Sutejo,
Stilistika,Yogyakarta :Pustaka Felicha:2010.hal
60
[6] Sutejo,
Stilistika,Yogyakarta :Pustaka Felicha:2010.hal
28
[7] Sutejo,
Stilistika,Yogyakarta :Pustaka Felicha:2010.hal
30
[8] Sutejo,
Stilistika,Yogyakarta :Pustaka Felicha:2010.hal
29
[9] Sutejo,
Stilistika,Yogyakarta :Pustaka Felicha:2010.hal
31
[10] Sutejo,
Stilistika,Yogyakarta :Pustaka Felicha:2010.hal
28
No comments:
Post a Comment