Wednesday 28 March 2012


Analisis Gaya Bahasa dalam cerpen Bawuk Karya Umar Kayam[1]



Oleh: Erwin Purwanto[2]





Hakikat karya sastra, termasuk didalamnya cerpen adalah intensifikasi bahasa sebagai alat keindahan. Cerpen menggunakan media bahasa sebagai sarana estetis terpentingnya. Bahasa yang dipergunakan pengarang bukanlah sekedar bahasa sehari-hari melainkan bhasa yang berciri estetis dan dapat mengungkapkan imaji, ekspresi jiwa, impresi, sikap, dan pesan tersembunyi dari pengarangnya.

Gaya bahasa Salah satu sarana dalam memujudkan citraan yang dilakukan pengaran dalam penyapaian sebuah karya sastra. Gaya bahasa karena itu, merupakan sarana strategis yang seringkali dipilih pengarang untuk mrngungkapkan pengalaman kejiwaan ke dalam karya fiksi. Peggayabahasaan, tidaklah memiliki makna harfiah melainkan pada makna yang ditambahkan, makna yang tersirat[3]. 

 Kekhasan yang terdapat dalam karya Umar Kayam antara lain(1) karakteristik kepengarangan yang dipengaruhi kepribadian “Jawa”nya (2) kekuatannya melukiskan peristiwa mengenai alam pedesaan yang sangat menawan; (3) penggunaan bahasa Jawa masih terlihat dalam karyanya; menggunakan bahasa yang lugas, sederhana, dan mudah dimengerti tanpa mengurangi bobot estetika;(4) aspek religius yang dipengaruhi oleh kehidupan keseharian yang bernafaskan islam; dan  (5) realisme yang tidak berpihak, baik mendukung maupun menentang karekter-karektenya[4].

Salah satu kekhasan dalam cerpen Bawuk karya Umar Kayam dalam cerpenya adalah faktor permaianan bahasa sebagai media estetika. Ungkapan-ungkapan kalimat yang susunnya memilik pencitraan tersendiri sebagaimana penggayabahasaan(majas). Majas dipergunakan pengarang untuk membangkitkan imajinasi pembaca atau pendengarnya. Berikut analisis kajian atas penggunaan gaya bahasa yang dipergunakan dalam cerpen Bawuk. 



Alegori

Alegori merupakan gaya bahasa yang menyatakan sesuatu hal dengan perlambang. Perlambangan dalam pengertian gaya bahasa ini adalah perlambangan dengan menggunakan perbandingan penuh[5]. Alegori yang digunakan Umar Kayam dalam pemilihan pengucapannya tampak dalam kutipan data berikut:

1)                           Disiplin dan efisiensi Bawuk bukanlah disiplin dan efisien  jam Westminster, tetapi kelincahan burung kepodang di pagi hari. Meloncat-loncat, berkicau-kicau, tetapi toh selalu tidak pernah gagal menyelesaikan tugas hidupnya mengumpulkan makanan buat anak-anaknya di sarang.(hal 227)

2)                           Kesukaan baginya adalah merupakan “bagian dari upacara” yang  mesti dia penuhi dalam fungsinya sebagai seorang  onder dan priyai yang terpandang. (hal 228)

3)                           Seorang penari telah mulai menarikan saru tarian gamyong. Gerakannya luwes, tangan-tangnnya yang melengkung seperti gendewa panah itu melentur-lentur dengan indahnya.

4)                           Makanan berlimpah-limpah seperti air mengalir, mbayu mili kata orang jawa.(hal 228)

Dua kutipan diatas menunjukan, bagaimana gaya bahasa perbandingan penuh dipergunakan pengarang. Sebuah ilustrasi perbandingan yang penuh, kedisiplinan, keefisien dan kelincahan Bawuk dengan sifat kegesitan seekor burung kepodang yang setiap hari menyelesaikan tugas-tuganya dengan senang hati. Demikian juga, seorang onder yang melakukan perintah sang bupati untuk menari dengan seorang penari ledek yang mana tidak disukainya dilakukan dengan penuh ketaan dan penghormatan sebagi rasa nyarat penghoratan. Dan juga, ilustrasi seorang penari yang anggun dengan kelenturan tangannya dan melengkung-lengkung penuh ekspresi jiwanya. Kelengkungannya sama halnya gendewa panah yang melengkung indah dan mudah untuk memanah. Selain itu, Hidangan yang melimpah ruah seaakan-akan membanjiri tempat acara. Berlimpah-ruahnya makanan sama halnya sungai mengalir yang tidak berhenti-henti.



Asosiasi

Sosiasi termasuk ke dalam gaya bahasa perbandingan. Asosiasi memperbandingkan sesuatu dengn keadaan lain yang sesuai dengan keadaan/gambaran dan sifatnya[6]. Asosiasi yang digunakan Umar Kayam dalam pemilihan pengucapannya tampak dalam kutipan data beriku:

5)                           “Paan! Ayo lekas ganti. Tapal kudanya. Masa  kuda onderan larinya pincang kaya anak kampong kudisan.(hal 231)

6)                           “Ayo, si manis disirami! Biasanya kokoknya nyaring, kali ini kok kaya tersumbat kodok tenggorokannya. Masa ayam onderan suaranya kaya bangau sawah. (hal 231)

Data (5) melukiskan sosok hewan kuda yang laringya tidak skencang kuda biasanya. Pengasosiasikan hewan kuda terhadap keadaan anak kampong yang kudisan berlari-lari dengan terbopoh-bopoh dengan menanggung malu penyakit kudisannya. Pada data (6) pelikisan kokok ayam yang tidak merdu dan eidak enak didengar, diasosiasikn suara burung bangau sawah yang jarang berkokok dan cenderung bersuara  pelan atau tidak nyaring senyaring ayam jantan.



Metafora

Gya bahasa ini merupakan kiasan seperti perbandingan pula, akan tetapi gaya ini tidak menggunakan kata pembanding seperti gaya bahasa yang lainnya[7]. Metafora yang digunakan Umar Kayam dalam pemilihan pengucapannya tampak dalam kutipan data beriku:

(7)                                              Nyonya Suryo melipat-lipai surat Bawuk yang pendek itu. Kenapakah pada senja itu, pada waktu dia mencoba mengenang anaknya yang bungsu itu justru masa kanak-kanaknya yang paling jelas terkenang.(hal 232)

 Pada data (7) Umar Kayam menyuguhkan ilustrasi  kepada pembaca, yang mana susana yang begitu terharu terselip pertanyaan tentang senja.Perbandingan yang membandingkan tentang  kekewatirannya kepada bawuk yang sedang dilanda masalah politik yang menyelimutinya.



Hiperbola

 Hiperbola  merupakan gaya bahasa yang dipakai untuk melukiskan sesuatu keadaan secara berlebihan daripada sesungguhnya [8]. Hiperbola yang digunakan Umar Kayam dalam pemilihan pengucapannya tampak dalam kutipan data beriku:

(8)                                              Tahu-tahi orang berlari-lari meneriakkan bahwa dukuh B telah diduduki oleh tentara. Tentara ternyata telah bergerak dengan gesit, segesit siluman.(hal 238)

(9)                                              Embun membasahi tubuh mereka yang letih yang telah sehari penuh mereka peras dengan habis-habisan dalam percobaan mereka yang gila melawan suatu tentara yang terlatih.(hal 239)

Pada data (8) penggambaran kekuatan tentara yang lincah dan gesit, dibandinggan kekesitan siluman yang lari secepat kilat. Demikian juga, (9)para penduduk desa dengan ekstra melawan kekuatan tentara yang mana telah menghbiskan keringat seperti memeras baju samapi kering.



Personifikasi

Personifikasi adalah gaya bahasa perbandingan yang membandingkan benda mati atau tidak bergerak seolah-olah bernyawa dan dapat berperilaku seperti manusia[9]. Personifikasi yang digunakan Umar Kayam dalam pemilihan pengucapannya tampak dalam kutipan data beriku:

(10)                                          Kepala-kepala kijang yang terpancang di kiri dan di kanan masih menunduk, keberatan memikul tanduk-tanduknya persis seperti sekian tahun yang lalu di setenan.(hal 243)

(11)                                          Tetapi karena waktu telah tidak terlalu bermurah hati di dalam memberi puluang kepadanya…(hal 246)

Pada data (10) majas persinifikasi diwujudkan kepala kijang yang seakan-akan bertingkah seperti manusia yang memikul beban penderitaan yang setiap saat bisa mengancam nyawanya, mengilustrasikan keadaan bawuk. Selain itu, (11)dalam majas ini Umar Kayam menyuguhkan gambaran waktu yang tidak memberikan kesempatan kepada manusia untuk berhenti dan berbalik arah. Waktu digambarkan sosok manusia yang kejam tidak brmurah ti dan terasa kejam bagi yang merasakannya.







Antitesis

Antitesis termasuk dalam gaya bahasa pertentangan. Antitesis sendiri merupakan jenis gaya bahasa yang mempergunakan kata-kata secara berlawanan[10]. Antitesis yang digunakan Umar Kayam dalam pemilihan pengucapannya tampak dalam kutipan data beriku:

(12)                                          Alangkah muda dan tuanya anaknya itu. (hal 234)

(13)                                          Ayah-ibunya, penbantu-penbabtunya semua seisi rumah mesti mengetahuinya. (hal 226)

Pada data (12) penggunaan majas pertentangan antitesi  yaitu anata kata muda dan tua yang merupakan kta yang sling berlawanan. Demikian halnaya(13) penggunaan kata bapak ibu merupkan kata-kata yang bertentangan sehingga keeksttetonya akan terlihat.



Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa yang digunakan Umar Kayam  dalam cerpennya Bawuk sebagai berikut:(i) alegori, (ii) asosiasi, (iii) metafora, (iv) hiperbola, (v) personifikasi, dan (vi) antitesis.  

Gaya bahasa itu, dipergunakan secara intensif untuk menggambarkan bagaimana mengungkapkan penegasan, pertentangan, dan perbandingan dalam sebuah cerpen. Pemakaina gaya bahasa yang dipakai Umar Kayam sangat menarik dan mudah dicermati oleh para pembaca. Sehingga cerpen Yang berjudul Bawu ini mudah dicerna dan di pahami secara umum oleh para pembaca dan secara khusus penggemar karya sastra.













*******













[1] Tugas mata kuliah Pengkajian Prosa Program strata (S1) Pendidikan Bahasa dan Sastra STKIP PGRI Ponorogo yang diampu Drs. Sugianto, M.Pd
[2] Mahasiswa PBSI Reguler A 2007 Stkip PGRI Ponorogo.
[3] Sutejo, Stilistika,Yogyakarta:Pustaka Felicha:2010.hal 26
[4] Safijar, Sri Sumarah Kumpulan Cerpen Umar Kayam, Jakarta: 2005
[5] Sutejo, Stilistika,Yogyakarta:Pustaka Felicha:2010.hal 60
[6] Sutejo, Stilistika,Yogyakarta:Pustaka Felicha:2010.hal 28
[7] Sutejo, Stilistika,Yogyakarta:Pustaka Felicha:2010.hal 30
[8] Sutejo, Stilistika,Yogyakarta:Pustaka Felicha:2010.hal 29
[9] Sutejo, Stilistika,Yogyakarta:Pustaka Felicha:2010.hal 31
[10] Sutejo, Stilistika,Yogyakarta:Pustaka Felicha:2010.hal 28

No comments:

Post a Comment

Puisi

"Awan" Oleh:  Kang Win Awan mulai menylimuti matahari Cahaya panas kian menghilang Bak sirna dalam ke Hirupikukan Tak ada awan, t...