Saturday 2 June 2012

cerpen


Mobil Biru

Oleh Erwin Purwanto

Pagi sedingin es menyelimuti kota kecil yang mungil di lereng pegunungan. Kabut tebal kekar menahan hawa dingin yang melinting. Pohon-pohon tertunduk berersimpuh malu di antara bebatuan yang diam menahan beban. Dedaunan terpaku pilu membisu mencari tau. Angin tenang berjalan menembus hati tak karuan, menerpa kejayaan yang penuh trik menuju kebahagiaan.

Di lereng pegunungan, terlihat desa yang bahagia. Kenikmatan hidup dipenuhi dengan penyatuan diri dengan alam. Orang-orang bersukaria dengan hewan dan dedaunan. Kehijauan menyatu terhadap kehidupan. Terlepas kemewahan yang bergelamor dunia berkelap-kelip. Kenikmatan hidup menyatu seketika tatkala alam dan manusia berbaur.

Angin tenang sekejap menjadi badai yang kencang nan girang. Bunga-bunga desa berhamburan tercerai berai, tatkala pepohonan enggan berdiri kekar. 

 Dikala pagi itu, ketika aku meyapu halaman depan, tiba-tiba ada mobil biru berhenti di depan rumah. Tanpa berpikir panjang, aku lari masuk rumah mencari Ibuku. “Selamat pagi Yu?” Tiba-tiba seorang laki-laki datang ke rumah. “Enjing Mas Nyoto, monggo-monggo masuk mriki!” jawab Ibuku sambil membuka pintu depan. “Bagaimana Yu kabarnya…?” Sahut Pak Nyoto sambil duduk di kursi sambil sesekali menata dasi. “Sama seperti dulu, tidak ada perubahan, ya Mas Nyoto lihat !,apalagi  setelah meninggalnya Bang Jarot, ya seperti ini…. ” keluh Ibuku.

Pak Nyoto kemudian menceritakan usahanya di kota yang berhasil membuka sebuh kafe yang menyajikan minuman khas desa dikemas secara modern. Usaha yang sejak remaja dibangunnya. Tak lupa menceritakan alasannya meninggalkan desa kelahirannya demi merubah nasib. Kebenciannya terhadap kerbau-kerbau kepunyaannya, yang menjadikan Pak Nyoto seakan-akan seperti budak hewan.  ha..ha…ha..” Pak Nyoto tertawa mengingat masa lalunya. Ibuku dan Pak Nyoto sesekali tertawa terbahak-bahak terbayang masa kanak-kanak dulu bermain sambil mengembala kerbau.

“Yu.. si Jum itu apa gak kamu suruh kerja di kota saja, ketimbang jadi budaknya kerbau-kerbau itu…! dia kan gadis yang cantik, manis lagi” tawar Pak Nyoto. “Ah.. Mas ki..iso-iso wae, ngrayu-ngrayunya…, seperti masa pacaran kita dulu..hehehe..” sanggah Ibuku sambil tersenyum. Seketika pak Nyoto tertawa “Ha..ha…ha…”

Sambil menyalakan rokok cerutunya Pak Nyoto menanyakan keberadaanku “ Si Juminten ada di rumah Yu..?  Wonten, Jum….Jum…. kilo dipanggil pak Nyoto”. Teriak Ibuku seketika. “Oalah Pak Nyoto! Wah sudah jadi pengusaha di kota ni. He..he.,he... ada lowongan gak pak?” Tanyaku sambil menyuguhkan kopi. Aku langsung duduk di dekat Ibuku.  Aku mengeluhkan kehidupan di pegunungan yang sangat memilukan. Kehidupan yang jauh dari kemajuan jaman. Hari-hari dipenuhi seribu dedaunan hijau yang harus diburu untuk memenuhi tuntutan dunia yang maju. Akan tetapi sulit untuk dituju.

Kehadiran Pak Nyoto kerumah kami membawa angin segar bagiku. “Gini Yu Tun, kedatangan saya kemari untuk menawari Juminten bekerja menjadi marketing produk” . “Apa itu pak?” Aku  kaget dan penasaran. “Sebagai penjual produk, nanti gajinya lumayan gede. Kalau kamu ingin mebahagiakan Ibumu, pasti  bisa terwujud kalau kamu mau…!” rayuan Pak Nyoto.

 Mendengar karta marketing produk, Akupun yang baru tamatan SMP satu tahun yang lalu, merasa pekerjaan yang ditawarkan adalah pekerjaan yang menjanjikan dan pasti bergaji tinggi apalagi marketing produk memakai bahasa Inggris. “pasti enak ni…”. “Kenapa Ndok kamu tersenyum-tersenyum wae?” Tiba-tiba Ibuku memegang bahu serta memegang rambuku. “Oalah Ibu aku kok sudah kebayang to” sahutku. “Gimana Jum?” Tanya Pak Nyoto sehabis menghirup secangkir kopi. “Siap pak, lawong di sini sehari-hari cuman mencarikan rumput buat si kerbau itu, mending kerja di Kota aja”.

Tiba-tiba air mataku meneteskan membasahi pipiku yang putih lembut  kekuningan. Keluguan yang dulu terbanyang dengan air mata yang berkaca-kaca. Kenapa aku dulu begitu mudah dirayu oleh tawaran Pak Nyoto? Mungkin beliau yang datang bawa mobil biru, terlihat sukses dan maju. Aku berbaring dalam kamar kost sendirian sambil memegangi buku mungil sebagai curhatan hatinya.

Keputusan yang aku ambil dulu kini rasanya kayak gini.  Ah dasar kebodohanku dengar kata marketing produk saja sudah terpikat, ah itu dulu dua tahun yang lalu, buku ini adalah belahan jiwaku. Kini aku harus melayani para tamu yang ingin melepas dahaga untuk mengembalikan semangat hidupnya.

Sambil mengusap air mata dengan sapu tangan pemberian Ibuku, aku  membuka dan membaca buku harianku. Ku baca catatanku ketika waktu pertama kali kerja di tempatnya pak Nyoto.

Tatkala aku memberikan semangkok es dawet tiba-tiba tanganku ditarik. Sentuhan yang lembut menyentuh dadaku yang mungil. Tangan-tangan yang usil yang kadang menyentil harus aku terima. Teriakanku malah jadi bahan tertawaan para pembeli.  Kebingunganku dijadikan bahan guncingan.      

Mbak Mangkuknya yang tengkurap dua tu… boleh gak saya baliknya?” celoteh seorang pembeli. Ini Bang mangkoknya..!” sambil memberikan semangkok es dawet. Tiba-tiba orang-orang tertawa terbahak-bahak “ha…ha…ha..haaa”.kenapa orang-orang ini malah tertawa apa yang salah pada diriku?” pikirku. “Makngkok yang tengkurap tu ya di bukak sedikit to?” teriak salah satu di antara mereka. “Apa sih maksud mereka?”   Mereka tersenyum dan matanya tertuju kepusat perhatian. Tubuhku yag masih bagus mulus aduh hai membuat mereka berengasan. Aku sambil memberikan semangkok es dawet tiba-tiba….tersentuh sentuhan yang haram gila. aduh…hai Bang… jangan! dengan sigap aku menagkis sambil teriak keras dan berlari ke belakang. Teriakanku yang keras terdengar teman-temannya di sebelahnya. Mereka menyasikkan kejadian seperti sudah biasa bagi para pelayan yag masih baru.

“Ada apa ini ?” Tiba-tiba Pak Nyoto datang. “O…. kamu to Jum….” Pak Nyoto menarik aku ke dalam dan memarahiku yang seharusnya melanyani pembeli dengan penuh perasaan. “La gimana lo pak  dadaku dipegangi mereka saja lho..”alasan Juminten. “Kamu harus mengelak dengan lembut, kalau sifat kamu seperti  itu para pelanggan akan enggan datang lagi terus bosan” berusaha menjelaskan. “Apa harus seperti itu pak?” Matanyaku berkaca-kaca sambil kuusap perlahan-lahan. “Ya harus, kalau gak seperti itu dagangan kita tidak akan laku”. “Ya pak…!” jawabku dengan hati yag terpukul. “Ya sudah, hari inikan hari pertamamu, kerjanya sampai di sini dulu, istirahat saja di kamar!” Lanjut Pak Nyoto.

Bayangan masa kerja pertama di Kafe Es Dawet Fres membuat  aku meneteskan air mata lagi.

 Di dalam kamar yang pengap ini terus kubaca buku mungil sebagai curhatan hatiku. Terlihat di balik sampul depan buku itu terpasang foto Ibu yang tersenyum lebar.  Lembar demi lembarku baca perlaha-lahan. Memori dua tahun yang lalu aku putar pela-pelan. Perlahan-lahan ,meneratapi waktu demi waktu yag penuh tabu.

Tiba-tiba aku tersenyum tatkala kubaca: Hari ini aku mengirimkan uang ke Ibu di desa. Uangku yang lumanyan banyak, hasil kerjaku selama setahun bisa dinikmati Ibu di desa. Pak Nyoto yang mengirimkan uang ke desa. Dan Ibu memberikan balasan dengan menulis surat bahwa uangnya akan dijadikan untuk merehap rumah yang sudah tidak layak lagi. Serta Pak Nyoto menceritakan bahwa keadaanku di kota sehat-sehat dan kerjanya lancar-lancar saja.

Memang uang yang aku kirimkan sedikit. Akan tetapi di kota yang uangnya kelihtan sedikit, namun di desa uang tersebut kelihatan selangit.

Sambil membaca catatan harian itu kebahagiaan tercampur rasa hati yang hancur, Tuntutan kerja yang membuatku begini, jadi ajur . Di desa semangkok seharga seribu di sini dihargai sepuluh ribu, ya akan meraup untung besar, tapi sebagian tubuhku kadang harus dipertaruhkan. 

Diam-diam Pak Nyoto memperhatikan aku secara serius. Kadang rasa kecemburuannya terlihat, saat aku didekati para tamu yang mengajakku bercanda yang kadang kelewatan.  Kini aku dijadikan Pak Nyoto sebagai istri simpanannya. Kemewahan yang diberikan kepadaku, membuat aku tak bisa berkutik. Sebetulnya aku menolak, akan tetapi akhirnya kami menikah siri. Sehingga aku mulai percaya dengan keseriusannya.

Ketika Pak Nyoto pergi keluar kota, tiba-tiba istrinya Pak Nyoto datang ke kafe, dia marah-marah. Kejengkelannya kepada Pak Nyoto di tumpahkan ke aku. Kedinginan Pak Nyoto ke istrinya akhir-akhir ini membuat penasaran, sehingga istri Pak Nyoto menyuruh salah satu karyawannya untuk mengawasi gelagat suaminya.

 Eh ternyata kamu biang keroknya, masih muda doyan aja orang yang sudah bau tanah” teriak Istri Pak Nyoto sambil nmenunjukkan jarinya ke wajahku. “Apa salahku Bu” tanyaku pelan sambil keheranan. “Masih mengelak, dasar gadis tak tau diuntung, pergi sana…! Keluar…! Angkat semua barang-barangmu. Ku pecat kau..! Pergi, pergi, pergi….!

Aku merasa hidup ini tidak adil. Baru setengah tahun kebahagianku bersama  Pak Nyoto kini harus dilepasnya. Apalagi setalah kejadian itu, besuknya Pak Nyoto menelpon, hatiku hancur lebur seperti bubur.

Jum sampai ini saja hubungan kita, sebab istriku mengancam akan mengusir aku tanpa membawa apapun, bahkan sehelai bajupun tak boleh aku bawa. Jum maafkan aku..tut…tut..tut..”terdengar suara dari hp. Ah dasar laki-laki buaya, mau enaknya saja.

Rasanya aku ingin pulang, tapi aku gak punya cukup uang. Apalagi aku tak mau kembali ke desa hidup bersama sapi dan menjadi buruh tani. Tiba-tiba hpku berbunyi lagi, eh ternyata dari sahabatku Mila. Hpnya langsung ku angkat “Hallo”. “Jum kamu dimana?”. “Aku di Terminal ni.. mau pulang gak jadi” jawab Juminten. “ Ya udah kamu ke rumahku aja, kerja sama aku enak kok”. Mila merupakan teman kerjaku yang sudah keluar dahulu karena terpergok mengambil uang di kasir. Mila mengetahuiku sudah keluar diberitahu oleh temannya yang masih bekerja di Kafe.

Setiba di rumah Mila, Mila langsung mengenalkan Aku kepada salah satu tetangganya. “Ini Ma yang kemarin aku ceritakan, anaknya pintar cantik lagi” Mila sambil memegang pundakku beberapa kali. Tetangga Mila milihatku langsung menyuruh Mila untuk mengajaknya masuk kerja.

Selepas dari rumah tetangganya, Mila menyuruhku untuk beristirahat di rumanya. “Ya seperti ini Jum tempatnya, masih berantakan” keluh Mila sambil menunjukan kamar tidur buat aku. “O…gak papa Mil, ini saja aku sudah bersyukur bisa tidur di rumahmu” sahutku pelan karena rasa capek yang tak bisa tahan. “Ya udah, cepat istirahat, besuk kamu langsung kerja sama aku”

 Setelah seharian aku istirahat, Mila mengajaknya masuk kerja. “O ini ya tempat kerjanya, kok berbentuk rumah kecli-kecil” keluh dalam hatiku ketika diajak Mila ke tempat kerjanya. Mil ini tempat apa?” tanyaku keheranan. “Ah kamu pasti tau sendiri nanti, tunggu aja!” jawab Mila sambil tersenyum.

Ah ternyata kerja yang ditawarkan Mila tak jauh dari tempatnya Pak Nyoto. malahan tambah gila lagi.  Mau bagaimana lagi uang sudah habis, cari kerja yang bener susah. Ah terlanjur basah ya sudah mandi sekali, yang penting bisa dapat duwit.

Dengan bermudalkan kecantikan, aku meraup banyak uang. Bahkan Jauh berlipat-lipat dari gaji yang didapat di tempatnya Pak Nyoto. Beberapa bulan sekejap langsung terkenal dan menempati posisi tarif yang begitu mahal dari teman-temannya yang lain.

Oh ibu ku yang tercinta, aku tak berani berkata jujur, kerjaanku sepert ini yang setiap hari terselimuti dosa. Nasehat-nasehat yang ibu berikan dulu, aku masih ingat betul. Sekarang karena keadaan, aku sering melanggarnya. Apalagi tentang kesucian tubuhku, sulit ibu aku menjaganya sampai tibanya nanti pernikahanku yang syah secara agama dan negara. Apalagi belahan jiwa ibu dulu yang kekasih pertama ibu, pernah jadi belahan jiwaku juga.

Berdosakah aku? Tapi demi membahagiakan ibu, aku rela melakukan ini. Biar kenikmatan sesaat yang kadang aku malah terasa nikmat aku jalani. Ibu mungkin apabila kamu tahu, pasti aku kamu lempar batu. Oh ibu ku tercinta, sekali lagi maafkan aku, maafkan ibu. Aku berjanji suatu saat, dunia seperti ini pasti aku tinggalkan. Aku ingin hidup normal seperti layaknya orang-orang. Semoga Tuhan kasihan kepadaku. Oh Tuhan… berilah aku jalan hidup yang benar.

Tetesan air mata yang terus bercucuran, tatkala melihat Foto ibuku di balik sampul buku harian yang mungil. Pelan-pelan kuraba-raba. Sesekali kuciumminya, sebagai pelepas rasa kangen yang dibatasi jarak yang jauh. Dengan kepedihaan hati dia dekap buku itu sebagai teman tidurnya.


cerpen


“Besi Tua”

Oleh: Erwin Purwanto



Ketatap besi-besi tua yang menganga kehitaman tertumpuk berantakan di ruang belakang. Diam pasrah menanti para antrian jemputan para pengecat. Di antara besi-besi tua terblesit ratapan hati yang menanti kehidupan yang berarti.  Debu-debu bertaburan menylinap di kelopak mata yang menatap warna-warni kehidupan.

Pagi itu aku mengawali kerjaku dengan menata bayangan sepeda untuk dihaluskan memakai rempelas. Bersama Mbah To, semua bayangan aku tata satu-persatu membentuk setengah melingkar. Aku sebagai karyawan srabetan, membantu  Mbah To yang sudah lama hampir tiga puluh lima tahun bekerja di pabrik sepeda ini dibagian perempelasan bayangan sepeda. Mbah To yang menyiapkan, kikir, rempelas, penitik, palu  dan dempul. Aku sendiri menyiapkan gerinda tangan dan Bor tangan.  Kami berduapun sepontan mengerjakan pekerjaan masing-masing, Mbah To menjegloki, lubang bagian depan bayangan sepeda dan bagian bumbung sadel. Aku sendiri menitik dan mengebor bagian tempat pemasangan slebor.  Mbah To beraada di tengah lingkaran bayangan, aku sendiri di luar lingkaran bayangan.

 Detak jam didinding kian berdetak terus, tak terasa satu jam semua bayangan sepeda sudah aku lobangi. Kami pun mengampals dan kadang mendempul lubang-lubang kecil. Dempul-dempul yang tebal dan keras, membuat pengamplasannya sulit serta menimbulkan debu yang banyak. Tiba-tiba Mbah To batuk-batuk, “Mbah pelan-pelan saja ? ”, saranku. “Gak papa Pur….!!!” Jawab Mbah To sambil merapikan masker yang digunakan. Penyakit paru-paru yang sudah lama dideritanya membuat napasnya terganggu, sehingga sering batuk-batuk. Dengan semangat Mbah To bekerja dengan giat sekali, aku sendiri sebagai anak muda kadang merasa malu, sebab semangat kerjannya yang luar biasa.

 Ku tatap tangan Mbah To yang sudah mulai keriputan, dagingnya mulai mengempes, tidak seperti miikku yang mash segar dan kencang. Aapalagi badannya yang beratnya kurang dari lima puluh kilogram, menjadikan dirinya kelihatan kurus sekali, dengan memakai kaos bekas yang terslimuti dempul-dempul yang menempel di kaosnya. Celana triningnya yang agak kekecilan, dibagian tengahnya dijahit memakai tali rafia, sandal japit yang sudah putus disambung mengunakan tali rafia juga dan masker yang kelihatan kehitaman tercampur debu, Mbah To tetap nyaman dengan penampilannya, tidak merasa risih ataupun  tidak enggan memakainya.

Aku sebagai karyawan yang sudah empat tahun bekerja disini, melihat penampilan Mbah To yang rambutnya sudah beruban, menjadikan aku tetap semangat dalam bekerja. Mbah To yang menikah diusia empat puluh, membuat beliau harus bekerja keras menghidupi keluarganya. Istrinya yang tidak dapat bekerja, sebab mengurusi anak-anaknya. Anak pertamannya Joni Saputra masih kelas enam SD, si Wati Setia Ningrum anak keduanya kelas tiga SD, dan si Sidiq Putra Abadi masih berumur satu tahun. Kedua anaknya yang masih duduk di bangku sekolah, membuat Mbah To harus memutar balikkan kepala untuk mencukupi biaya sekolah yang lama-kelamaan melejit dan mencekik leher.

Tiga puluh lima tahun Mbah To bekerja di pabrik ini, pabrik yang berkelas nasional akan tetapi produksinya masih dikerjakan secara manual. Kehidupannya masih di bawah garis kemiskinan. Mbah To mengontrak rumah yang terbuat dari tirai bambu berukurkan  lebar empat meter dan panjang enam  meter. Lantai yang berjubin dari tanah, serta hanya beruang satu tanpa adanya ruang tamu maupun kamar tidur. Semua anggota keluarga jadi satu diruang tengah, bak seperti layanya kamar tidur. Pakaian dan semua barang-barang jadi satu tanpa adanya sekat sama sekali. Diteras hanya terdapat dua kursi yang dijadikan sebagai ruang tamu. Para tamu yang datang kesitu terpaksa harus duduk di teras, sebab akan ke dalam tak ada tempatnya untuk berbincang-bincang yang layak seperti rumah pada umumnya.

Sambil mengamplas kamipun mengobrol sampai kesana kimari. Secara tidak sadar aku menanyakan kehudupan beliau. “Mbah dengan gaji seperti ini, apa cukup lho mbah untuk memenuhi kebutuha sehari-hari ?” tanyaku. “Ya tidak.., gaji dari sini  cukup beli untuk beras saja” jawabnya sambil mendempul . “Lha terus untuk memenuhinya gimana Mbah ?” lanjutku. “Untungnya adik-adikku masih kasihan kepadaku, ya tidak setiap bulan, tapi bisa membantu sedikit-dikit”. Memang adik-adiknya mbah To ada yang menjadi anggota polri dan ada juga yang menjadi guru. Mbah To sendiri tidak ingin mengharapkan belas kasihan adik-adinya. Sebetulnya pernah, anaknya di jadikan anak asuh oleh adiknya, namun mbah To tidak mau. Dari cerita-cerita mbah To membuat aku penasaran untuk menggetahui betapa pahitnya menelan pil kehidupan ini.

Ketika kami baru menyelesaikan lima puluh bayangan, kami dipanggil oleh sang mandor untuk mengeluarkan bayangan dari oven. Kamipun bergegas ke oven, dan mengeluarkan satu persatu bayangan dan porok sepeda. Sebetulnya bagian pengampalsan terdiri dari empat orang, kebetulan hari itu hanya Mbah To saja yang masuk, Aku sebagi tenaga srabetan disuruh untuk membantu Mbah To. Dengan pelan-pelan kami mengeluarkan bayangan dan porok tersebut sera kami tata tertumpuk. Setelah selesai, Mbah To tidak kuasa menahan haus dahaganya, sesegera menuju ketempat ganti baju dan mengambil botol air minum yang sudah disiapkan dari rumah. Kami kemudian melanjutkan mengamplas bayangn yang masih banyak sekitar enam puluhan jumlahnya. Tiba-tiba  Pak Lan sebagai Mandor, datang melihat hasil kerja kami. Dengan menmggunakan palu dan baja besi untuk memperbesar lubang porong, Pak Lan mengontrolinya. “Pur lubangnya ini kurang besar…” Pak Lan memanggilu. “ya Pak..” Jawabku. Dengan keras, Pak Lan memukul baja besi untuk membesarkan lubang itu. Pak Lan tidak berani menegur Mbah To, sebetulnya Pak Lan mengetahui siapa yang menjeglokinya, tapi dia tidak menegur mbah To justru aku. Tenaga Mbah To yang sudah tidak kuat, sehingga hasilnya pekerjaanya tidak maksimal. “Pur …sebetulnya lubangnya sebesar itu sudah pas, sebabkan tidak mungkin harus masuk langsung kan harus sesak to ?” keluh Mbah To. “iya Mbah…” Satu persatu bayangan sepeda diperiksa lagi oleh Pak Lan, sesekali membesarkan lubang porok dengan tenaga ekstra, ada yang masuk dan ada juga yang pecah. “Oalah ternyata tebalnya pipa terlalu tebal, sehingga sulit untuk memasukkan mangkoaannya” keluh Pak Lan. “Pur,..Pur,…” teriak PAK lan memanggilku. Aku menoleh ke arah Pak Lan ternyata tangan beliau mengeluarkan darah banyak, sepontan aku lari ke almari p3k dan mengmgambil betadin dan kapas. Pak Lan langsun menuju ruangn depan dan duduk di kursi sambil memegangi lukanya. Setelah kapas dan betadin aku berikan, aku kembalimke belakng. Beliau dibantu pak sugeng membersihkan luka dan membalutmya. Aku sendiri melanjutkan berkerja bersama Mbah To. Luka yang dialami Pak Lan tidak terlalu serius, sehingga aku melanjutkan pekerjaan. “Bayangan tadi itu sebetulnya sudah aku jeglogi dengan sekuat tenagaku…,pipanya yang tebal sekali” kata Mbah To dengan logat Jawanya. “ Yaa ….! Ya udah Mbah gak usah dipikir, nanti yang pecah itu aku bawa ke bagian pengelasan..” Jawabku sambil memegangi bayangan sepeda. “Pak Lan tadi terkena palu. ..itulo Mbah” aku memberitahu Mbah To.

*****

Sambil mengamplas Mbah To menasehati aku agar bekerja di pabrik sepeda ini untuk batu loncatan saja. Gaji selama tiga puluh lima tahun  hanya bisa untuk beli beras saja, maka dari itu Mbah To merasa kasihan kepadaku. “Heleh Pur….Pur… Jangan sampai kamu sepertiku, aku sudah tertancap di sini sulit untuk keluar cari kerja yang layak. Kamu mumpung masih muda cari kerja yang layak !”. Dalam pikirku aku keheranan dengan nasehat Mbah To, “Apakah kerja di sisni seperti itu ???”.

Kemudian MBAH To melanjutkan ceritanya, “Aku dulu kerja di sini sejak tamatan Smp, dari tukang bersih-bersih halaman sampai membersihkan kamar mandipun aku jalani. Setiap istirhat mengantarkan makanam ke pabrik. Kedekatannku dengan Pak Tulus yang keturunan Cina Jawa sebagai pememilik pabrik ini, membuat aku sangat dipercaya, sampai-sampai aku pinjam berapa juta di kasih. Sempat aku dipegangi sepeda motor untuk kesana-kemari. Di suatu haru ketika aku akan pulang, aku terkejut sebab bayangan yang sudah di paketi yang akan mau di kirim ke pelanggan, setelah dihitung hilang satu. Aku bersama kelima temanku di sidang oleh Pak Tulus dan Istrinya di ruang kantornya, bahwa ada laporan yang mengambil slah satu bayangan itu adalah kami. Satu persatu di tanyain sambil di caci maki, tidak ada yang mengaku. Waktu itu aku yang terakhir, “ini uang satu bendel bawa pulang, jangan sekali-kali kembali ke sisni” bentakan Pak Tulus sambil mengebrak meja. Aku tenang saja, sebab masih ada teman aku yang ketika waktu itu tidak masuk, aku dengan tenang canpur ketakutan mengatakan masih ada satu lagi yang belum di tanyai.

Keesokan harinya, akhirnya temanku tadi mengakui mengabil bayangan untuk di jual, sebab anaknya yang menunggak spp sekolah. PakTulus, tida percaya dengan alasannya, kemudian langsung berkata “besuk tidak usah masuk kerja lagi”.Sejak kejadian itu aku, juga kena imbasnya aku di pisah denga teman-temanku dan aku di tempatkan ke perempalasan ini”

Mbah To juga menceritakan temannya yang bernama Pak goni, diberhentikan gara-gara mengunakan mobil pabrik seharian digunakan untuk taakjiah. “Mbah di sisni itu apak tidak ada pesangon ?” tannyaku. “ Halah Pesangon, THR itu saja setengah gaji sebulan, apa gak kelewatan Pur ???......” keluh Mbah To.

Ya memang  empat tahun aku disini, yang Ku alami hanyalah kerja yang tidak menentu. Kadang aku di suruh kerumah pak Tulus untuk memotongi pohon-pohon di halamannya,dan kadang juga mengurusi anjing-anjingnya. Dalam pikirku “tak seindah yang aku bayangkan”, dulu aku sehabis LULUS sekolah menengah kejuruan, ditawarai kerja Pak JENGGot  tetanggaku untuk kerja di pabrik ini, yang sudah meninggal dua tahun yang lalu akibat kecelakan ketika mengirimka barang ke luar kota.

*****

Bunyi bel tanda istirahat terdengar sampai ke belakang, Aku Bersama Mbah To langsung membersihkan tangan untuk persiapan makan siang. Sekitar empat puluh Tujuh karyawan yang di bagian pengecatan sisni berkumpul di halaman, dan menyantap makan siang yang sudah di bungkus rapi satu persatu dari rumah pak Tulus. “sayur apaan ini ? masa cuman air memndidih dikasih bayam dan kobis saja…” teriak pak Kamso sambil melemparkan rantang tempat nasinya. Memang orang bayak, bayak yang mengeluh, ada yang bilang tidak ada garamnya, sampai  cuman dikasih cabe saja, dan seterusnya. Pak Kamso terkenal orang yang banyak bicara, menggembor-gemborkan kekurangan pabrik, terutama tentang makannya, namun apapbila di hadapan Pak Tulus tidak mempunyai nyali hanya bisa bilang “ya..Bos, Siap Bos..Oke Bos…!” jauh dari apa yang dia bilang kekaryawan lain.

Kami dituntut untuk mengerjakanya dengan memenuhi tarjet dalam sehari, namun khusus aku dan ketiga temanku sebagai tenaga harian, tak bisa berkutik sebab hanya bisa membantu para karyawa yang bekerja dengan sitem borongan. Sebetulnya kami sendiri bisa dan  mampu untuk bekerja system borongan entah apa yang membuat kami masih sistem harian.

Bekerja di perusahaan sepeda ini sebetulnya bukan uang yang aku dapat, malahan aku mendapatkan ilmu yang sangat berharga. Memang kalau dipikir masalah gaji, aku ingin saja keluar dari perusahaan. Pengalaman-pengalaman kehidupan para keryawan yang sudah berumah tangga membuat aku yang belumum menikah, merasa betah dan dapat mengerti makna hidup ini. Pinjam-meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sudah menjadi kebiasan mewarnai hidup ini. Setiap hari Sabtu gajian, namun  hari Kamisnya uang yang ada didompet tinggal untuk jaga-jaga kalau ban sepeda monto bocor dijalan.

Rata-rata kehidupan keluarga para karyawan pas-pasan saja, bahkan untuk makan saja kadang masih ngutang di toko sembako. Apalagi bagi keluarga yang baru saja menikah dan mempunyai anak kecil, untuk beli susu saja, gaji seminggu tidak cukup. Banyak temen-temenku yang baru menikah mengeluhkan gaji yang didapat tidak bisa menyukupi kebutuhan sehari-hari, sehingga harus membuka usaha atau bekerja di tempat lain lagi sehabis waktu kerja di pabrik.

****

Aku sebagai tenaga harian, walaupu aku sudah bekerja empat tahun lamanya, gajiku masih tidak sama dengan karyawan lain. Apalagi standar dari upah minimum regional (UMR). Perusahaan yang milik perseorangan tidak bisa membuat kami bisa menuntut apa-apa. Sistem kerja yang dilakukan tidak sama dengan sisten kerja yang dilakukan oleh pemerintah. Asuransi kecelakaanpun tidak difasilitasi, apalagi kalau keluar tidak dapat pesangon yang sesuai dengan masa kerja, disalah satu sisi perusahaan pabrik ini menguntungka para karyawan, sebab tidak ada namanya pemecatan karyawan. Sebab pemilik pabrik tak mau kehilangan uang. Sehingga para karyawan yang baru dan yang lama kerjanya sama, bedanya hanya gajinya. Selain itu juga, gaji yang didapatkan tidak sesuai dengan kerja yang  dilakukan. Semua karyawan gajinya tidak sesuai denga standat  yang telah ditetapkan pemerintah, justru masih jauh dibawah standat. Secara tidak langgsung karyawan merasa tertekan hak-haknnya sebagai buruh pabrik

Entah apa yang membuat aku dulu bisa masuk kerja di sini. Memag dulu aku ngin mergubah nasib., tapi apa yag aku rasakan ???, aku merasa terkenkang di negaraku sendiri. Pemilik perusahaa yang orang keturunan asing justru membuat aku tak berdaya di negariku sendiri. Aku harus tunduk patuh dan hormat kepada orang asing, harga diripun aku pertaruhkan demi rupiah. Setiap hari dihadapkan besi-besi tua yang sangat sudah tidak layak digunakan, Dengan kepiaiwan kami besi tua pun bisa dijadikan baru dan laku dipasaran. Dengan memermak, mendempul, mengamplas sampai mengepaki, aku harus bisa melakasanakan itu semua.

                                                   ***** 



Puisi

"Awan" Oleh:  Kang Win Awan mulai menylimuti matahari Cahaya panas kian menghilang Bak sirna dalam ke Hirupikukan Tak ada awan, t...