“Besi Tua”
Oleh: Erwin Purwanto
Ketatap besi-besi tua yang menganga
kehitaman tertumpuk berantakan di ruang belakang. Diam pasrah menanti para
antrian jemputan para pengecat. Di antara besi-besi tua terblesit ratapan hati
yang menanti kehidupan yang berarti.
Debu-debu bertaburan menylinap di kelopak mata yang menatap warna-warni
kehidupan.
Pagi itu aku mengawali kerjaku dengan
menata bayangan sepeda untuk dihaluskan
memakai rempelas. Bersama Mbah To, semua
bayangan aku tata satu-persatu membentuk
setengah melingkar. Aku sebagai karyawan srabetan,
membantu Mbah To yang sudah lama hampir
tiga puluh lima tahun bekerja di pabrik sepeda ini dibagian perempelasan bayangan sepeda. Mbah To yang
menyiapkan, kikir, rempelas, penitik, palu
dan dempul. Aku sendiri menyiapkan gerinda
tangan dan Bor tangan. Kami
berduapun sepontan mengerjakan pekerjaan masing-masing, Mbah To menjegloki, lubang bagian depan bayangan
sepeda dan bagian bumbung sadel. Aku
sendiri menitik dan mengebor bagian tempat pemasangan slebor. Mbah To beraada di tengah lingkaran bayangan,
aku sendiri di luar lingkaran bayangan.
Detak jam didinding kian berdetak terus, tak
terasa satu jam semua bayangan sepeda sudah aku lobangi. Kami pun mengampals
dan kadang mendempul lubang-lubang kecil. Dempul-dempul yang tebal dan keras,
membuat pengamplasannya sulit serta menimbulkan debu yang banyak. Tiba-tiba
Mbah To batuk-batuk, “Mbah pelan-pelan saja ? ”, saranku. “Gak papa Pur….!!!”
Jawab Mbah To sambil merapikan masker yang digunakan. Penyakit paru-paru yang
sudah lama dideritanya membuat napasnya terganggu, sehingga sering batuk-batuk.
Dengan semangat Mbah To bekerja dengan giat sekali, aku sendiri sebagai anak
muda kadang merasa malu, sebab semangat kerjannya yang luar biasa.
Ku tatap tangan Mbah To yang sudah mulai
keriputan, dagingnya mulai mengempes, tidak seperti miikku yang mash segar dan
kencang. Aapalagi badannya yang beratnya kurang dari lima puluh kilogram,
menjadikan dirinya kelihatan kurus sekali, dengan memakai kaos bekas yang
terslimuti dempul-dempul yang menempel di kaosnya. Celana triningnya yang agak
kekecilan, dibagian tengahnya dijahit memakai tali rafia, sandal japit yang
sudah putus disambung mengunakan tali rafia juga dan masker yang kelihatan
kehitaman tercampur debu, Mbah To tetap nyaman dengan penampilannya, tidak
merasa risih ataupun tidak enggan
memakainya.
Aku sebagai karyawan yang sudah empat
tahun bekerja disini, melihat penampilan Mbah To yang rambutnya sudah beruban,
menjadikan aku tetap semangat dalam bekerja. Mbah To yang menikah diusia empat
puluh, membuat beliau harus bekerja keras menghidupi keluarganya. Istrinya yang
tidak dapat bekerja, sebab mengurusi anak-anaknya. Anak pertamannya Joni Saputra
masih kelas enam SD, si Wati Setia Ningrum anak keduanya kelas tiga SD, dan si
Sidiq Putra Abadi masih berumur satu tahun. Kedua anaknya yang masih duduk di
bangku sekolah, membuat Mbah To harus memutar balikkan kepala untuk mencukupi
biaya sekolah yang lama-kelamaan melejit dan mencekik leher.
Tiga puluh lima tahun Mbah To bekerja di
pabrik ini, pabrik yang berkelas nasional akan tetapi produksinya masih
dikerjakan secara manual. Kehidupannya masih di bawah garis kemiskinan. Mbah To
mengontrak rumah yang terbuat dari tirai bambu berukurkan lebar empat meter dan panjang enam meter. Lantai yang berjubin dari tanah, serta
hanya beruang satu tanpa adanya ruang tamu maupun kamar tidur. Semua anggota
keluarga jadi satu diruang tengah, bak seperti layanya kamar tidur. Pakaian dan
semua barang-barang jadi satu tanpa adanya sekat sama sekali. Diteras hanya
terdapat dua kursi yang dijadikan sebagai ruang tamu. Para tamu yang datang
kesitu terpaksa harus duduk di teras, sebab akan ke dalam tak ada tempatnya untuk
berbincang-bincang yang layak seperti rumah pada umumnya.
Sambil mengamplas kamipun mengobrol
sampai kesana kimari. Secara tidak sadar aku menanyakan kehudupan beliau. “Mbah
dengan gaji seperti ini, apa cukup lho mbah untuk memenuhi kebutuha sehari-hari
?” tanyaku. “Ya tidak.., gaji dari sini
cukup beli untuk beras saja” jawabnya sambil mendempul . “Lha terus
untuk memenuhinya gimana Mbah ?” lanjutku. “Untungnya adik-adikku masih kasihan
kepadaku, ya tidak setiap bulan, tapi bisa membantu sedikit-dikit”. Memang
adik-adiknya mbah To ada yang menjadi anggota polri dan ada juga yang menjadi
guru. Mbah To sendiri tidak ingin mengharapkan belas kasihan adik-adinya.
Sebetulnya pernah, anaknya di jadikan anak asuh oleh adiknya, namun mbah To
tidak mau. Dari cerita-cerita mbah To membuat aku penasaran untuk menggetahui
betapa pahitnya menelan pil kehidupan ini.
Ketika kami baru menyelesaikan lima puluh
bayangan, kami dipanggil oleh sang
mandor untuk mengeluarkan bayangan dari oven. Kamipun bergegas ke oven, dan mengeluarkan
satu persatu bayangan dan porok sepeda. Sebetulnya bagian pengampalsan terdiri
dari empat orang, kebetulan hari itu hanya Mbah To saja yang masuk, Aku sebagi
tenaga srabetan disuruh untuk
membantu Mbah To. Dengan pelan-pelan kami mengeluarkan bayangan dan porok
tersebut sera kami tata tertumpuk. Setelah selesai, Mbah To tidak kuasa menahan
haus dahaganya, sesegera menuju ketempat ganti baju dan mengambil botol air
minum yang sudah disiapkan dari rumah. Kami kemudian melanjutkan mengamplas
bayangn yang masih banyak sekitar enam puluhan jumlahnya. Tiba-tiba Pak Lan sebagai Mandor, datang melihat hasil
kerja kami. Dengan menmggunakan palu dan baja besi untuk memperbesar lubang porong,
Pak Lan mengontrolinya. “Pur lubangnya ini kurang besar…” Pak Lan memanggilu.
“ya Pak..” Jawabku. Dengan keras, Pak Lan memukul baja besi untuk membesarkan
lubang itu. Pak Lan tidak berani menegur Mbah To, sebetulnya Pak Lan mengetahui
siapa yang menjeglokinya, tapi dia
tidak menegur mbah To justru aku. Tenaga Mbah To yang sudah tidak kuat, sehingga
hasilnya pekerjaanya tidak maksimal. “Pur …sebetulnya lubangnya sebesar itu
sudah pas, sebabkan tidak mungkin harus masuk langsung kan harus sesak to ?” keluh
Mbah To. “iya Mbah…” Satu persatu bayangan sepeda diperiksa lagi oleh Pak Lan,
sesekali membesarkan lubang porok dengan tenaga ekstra, ada yang masuk dan ada
juga yang pecah. “Oalah ternyata tebalnya pipa terlalu tebal, sehingga sulit
untuk memasukkan mangkoaannya” keluh Pak Lan. “Pur,..Pur,…” teriak PAK lan
memanggilku. Aku menoleh ke arah Pak Lan ternyata tangan beliau mengeluarkan
darah banyak, sepontan aku lari ke almari p3k dan mengmgambil betadin dan
kapas. Pak Lan langsun menuju ruangn depan dan duduk di kursi sambil memegangi
lukanya. Setelah kapas dan betadin aku berikan, aku kembalimke belakng. Beliau
dibantu pak sugeng membersihkan luka dan membalutmya. Aku sendiri melanjutkan
berkerja bersama Mbah To. Luka yang dialami Pak Lan tidak terlalu serius,
sehingga aku melanjutkan pekerjaan. “Bayangan tadi itu sebetulnya sudah aku jeglogi dengan sekuat tenagaku…,pipanya
yang tebal sekali” kata Mbah To dengan logat Jawanya. “ Yaa ….! Ya udah Mbah
gak usah dipikir, nanti yang pecah itu aku bawa ke bagian pengelasan..” Jawabku
sambil memegangi bayangan sepeda. “Pak Lan tadi terkena palu. ..itulo Mbah” aku
memberitahu Mbah To.
*****
Sambil mengamplas Mbah To menasehati aku
agar bekerja di pabrik sepeda ini untuk batu loncatan saja. Gaji selama tiga puluh
lima tahun hanya bisa untuk beli beras
saja, maka dari itu Mbah To merasa kasihan kepadaku. “Heleh Pur….Pur… Jangan
sampai kamu sepertiku, aku sudah tertancap di sini sulit untuk keluar cari
kerja yang layak. Kamu mumpung masih muda cari kerja yang layak !”. Dalam
pikirku aku keheranan dengan nasehat Mbah To, “Apakah kerja di sisni seperti
itu ???”.
Kemudian MBAH To melanjutkan ceritanya,
“Aku dulu kerja di sini sejak tamatan Smp, dari tukang bersih-bersih halaman
sampai membersihkan kamar mandipun aku jalani. Setiap istirhat mengantarkan makanam
ke pabrik. Kedekatannku dengan Pak Tulus yang keturunan Cina Jawa sebagai
pememilik pabrik ini, membuat aku sangat dipercaya, sampai-sampai aku pinjam
berapa juta di kasih. Sempat aku dipegangi sepeda motor untuk kesana-kemari. Di
suatu haru ketika aku akan pulang, aku terkejut sebab bayangan yang sudah di
paketi yang akan mau di kirim ke pelanggan, setelah dihitung hilang satu. Aku
bersama kelima temanku di sidang oleh Pak Tulus dan Istrinya di ruang
kantornya, bahwa ada laporan yang mengambil slah satu bayangan itu adalah kami.
Satu persatu di tanyain sambil di caci maki, tidak ada yang mengaku. Waktu itu
aku yang terakhir, “ini uang satu bendel bawa pulang, jangan sekali-kali kembali
ke sisni” bentakan Pak Tulus sambil mengebrak meja. Aku tenang saja, sebab
masih ada teman aku yang ketika waktu itu tidak masuk, aku dengan tenang canpur
ketakutan mengatakan masih ada satu lagi yang belum di tanyai.
Keesokan harinya, akhirnya temanku tadi
mengakui mengabil bayangan untuk di jual, sebab anaknya yang menunggak spp
sekolah. PakTulus, tida percaya dengan alasannya, kemudian langsung berkata
“besuk tidak usah masuk kerja lagi”.Sejak kejadian itu aku, juga kena imbasnya
aku di pisah denga teman-temanku dan aku di tempatkan ke perempalasan ini”
Mbah To juga menceritakan temannya yang
bernama Pak goni, diberhentikan gara-gara mengunakan mobil pabrik seharian
digunakan untuk taakjiah. “Mbah di sisni itu apak tidak ada pesangon ?”
tannyaku. “ Halah Pesangon, THR itu saja setengah gaji sebulan, apa gak kelewatan
Pur ???......” keluh Mbah To.
Ya memang empat tahun aku disini, yang Ku alami hanyalah
kerja yang tidak menentu. Kadang aku di suruh kerumah pak Tulus untuk memotongi
pohon-pohon di halamannya,dan kadang juga mengurusi anjing-anjingnya. Dalam
pikirku “tak seindah yang aku bayangkan”, dulu aku sehabis LULUS sekolah
menengah kejuruan, ditawarai kerja Pak JENGGot
tetanggaku untuk kerja di pabrik ini, yang sudah meninggal dua tahun
yang lalu akibat kecelakan ketika mengirimka barang ke luar kota.
*****
Bunyi bel tanda istirahat terdengar
sampai ke belakang, Aku Bersama Mbah To langsung membersihkan tangan untuk
persiapan makan siang. Sekitar empat puluh Tujuh karyawan yang di bagian
pengecatan sisni berkumpul di halaman, dan menyantap makan siang yang sudah di
bungkus rapi satu persatu dari rumah pak Tulus. “sayur apaan ini ? masa cuman
air memndidih dikasih bayam dan kobis saja…” teriak pak Kamso sambil melemparkan
rantang tempat nasinya. Memang orang
bayak, bayak yang mengeluh, ada yang bilang tidak ada garamnya, sampai cuman dikasih cabe saja, dan seterusnya. Pak
Kamso terkenal orang yang banyak bicara, menggembor-gemborkan kekurangan
pabrik, terutama tentang makannya, namun apapbila di hadapan Pak Tulus tidak
mempunyai nyali hanya bisa bilang “ya..Bos, Siap Bos..Oke Bos…!” jauh dari apa
yang dia bilang kekaryawan lain.
Kami dituntut untuk mengerjakanya dengan
memenuhi tarjet dalam sehari, namun khusus aku dan ketiga temanku sebagai
tenaga harian, tak bisa berkutik
sebab hanya bisa membantu para karyawa yang bekerja dengan sitem borongan. Sebetulnya kami sendiri bisa
dan mampu untuk bekerja system borongan
entah apa yang membuat kami masih sistem harian.
Bekerja di perusahaan sepeda ini sebetulnya
bukan uang yang aku dapat, malahan aku mendapatkan ilmu yang sangat berharga.
Memang kalau dipikir masalah gaji, aku ingin saja keluar dari perusahaan.
Pengalaman-pengalaman kehidupan para keryawan yang sudah berumah tangga membuat
aku yang belumum menikah, merasa betah dan dapat mengerti makna hidup ini.
Pinjam-meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sudah menjadi
kebiasan mewarnai hidup ini. Setiap hari Sabtu gajian, namun hari Kamisnya uang yang ada didompet tinggal
untuk jaga-jaga kalau ban sepeda monto bocor dijalan.
Rata-rata kehidupan keluarga para
karyawan pas-pasan saja, bahkan untuk makan saja kadang masih ngutang di toko
sembako. Apalagi bagi keluarga yang baru saja menikah dan mempunyai anak kecil,
untuk beli susu saja, gaji seminggu tidak cukup. Banyak temen-temenku yang baru
menikah mengeluhkan gaji yang didapat tidak bisa menyukupi kebutuhan
sehari-hari, sehingga harus membuka usaha atau bekerja di tempat lain lagi
sehabis waktu kerja di pabrik.
****
Aku sebagai tenaga harian, walaupu aku sudah bekerja empat tahun lamanya, gajiku masih
tidak sama dengan karyawan lain. Apalagi standar dari upah minimum regional
(UMR). Perusahaan yang milik perseorangan tidak bisa membuat kami bisa menuntut
apa-apa. Sistem kerja yang dilakukan tidak sama dengan sisten kerja yang
dilakukan oleh pemerintah. Asuransi kecelakaanpun tidak difasilitasi, apalagi
kalau keluar tidak dapat pesangon yang sesuai dengan masa kerja, disalah satu
sisi perusahaan pabrik ini menguntungka para karyawan, sebab tidak ada namanya
pemecatan karyawan. Sebab pemilik pabrik tak mau kehilangan uang. Sehingga para
karyawan yang baru dan yang lama kerjanya sama, bedanya hanya gajinya. Selain
itu juga, gaji yang didapatkan tidak sesuai dengan kerja yang dilakukan. Semua karyawan gajinya tidak
sesuai denga standat yang telah
ditetapkan pemerintah, justru masih jauh dibawah standat. Secara tidak
langgsung karyawan merasa tertekan hak-haknnya sebagai buruh pabrik
Entah apa yang membuat aku dulu bisa masuk
kerja di sini. Memag dulu aku ngin mergubah nasib., tapi apa yag aku rasakan ???,
aku merasa terkenkang di negaraku sendiri. Pemilik perusahaa yang orang keturunan
asing justru membuat aku tak berdaya di negariku sendiri. Aku harus tunduk
patuh dan hormat kepada orang asing, harga diripun aku pertaruhkan demi rupiah.
Setiap hari dihadapkan besi-besi tua yang sangat sudah tidak layak digunakan,
Dengan kepiaiwan kami besi tua pun bisa dijadikan baru dan laku dipasaran. Dengan
memermak, mendempul, mengamplas sampai mengepaki, aku harus bisa melakasanakan
itu semua.
No comments:
Post a Comment