KAJIAN CERPEN
BERBASIS SOSIOLOGI SASTRA
Potret
Kehidupan Petani Tebu dalam Cerpen Rendemen
Karya
M. Soim Anwar [1]
Oleh: Erwin Purwanto[2]
Realita sosial dalam
pandangan sosiologi sastra merupakan sebab musabab lahirnya sebuah karya sastra
(cerpen). Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang
ditulis pada suatu kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norna-norma
dan adat masa tersebut. Pengarang mengubah karyanya selaku seorang warga
masyarakat dan menyapa pembaca yang sama-sama dengannya merupakan warga
masyarakat tersebut[3].
Sastra menyajikan
kehidupan dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyatan sosial, walaupun
karya sastra meniru alam dan dunia subjektif manusia [4].
Lahirnya sebuah karya sastra merupakan buah dari perenungan dari pengalaman
batin sang pengarang. Kejadian yang terjadi disekitar pengarng secara langsung
atau tidak langsung akan mempengaruhi sebuah karyanya, hal ini merupakan wujud
dari luapan batin pengarng sendiri.
Realita kehidupan kaum
petani saat ini masih jauh dari harapa mereka, di lahannya sendiri seperti di lahannya orang
lain. Di mana-mana saat ini para petani dihadapkan dari berbagai permasalahan
dari prosesnya penanamannya sampai penjualannya. Petani sendiri sebenarnya tak
muluk-muluk meiliki keinginan aneh-aneh hanya ingin seperti pepetah jawa ayem, tentrem, gemah rimpah loh jinawi. Masyarakat kita yang sebagian besar para
petani adalah sebagai ujung tombak terpenuhinya swasembada pangan. Sehingga mengenai
masalah pangan tidak akan mengalami permasalahan yang fatal, akan tetapi kenyataannya
negara kita masih mengimpor pangan dari negara lain.
Ketidak berdayaan kaum
petani untuk memejukan perekonomiannya
terbatasi oleh sarana dan prasarananya. Apalagi campur tangan dari pihak
lain yang mengatur harga hasil panen menambah para petani memutar otak dengan
keras. Seperti yang dilansir oleh harian Republika mengenai masyarakat
menguasai lahan kelapa sawit yang dimiliki PTPN III. Masyarakat setempat
menguasai tanah tersebut dengan alasan sebagai milik leluhurnya yang diserobot
PTP sebagai pengelolo lahan tersebut[5].
Dalam cerpen Rendemen inilah M. Soim Anwar mencoba
menggambarkan bagaimana ketidak berdayaan kaum petani tebu terhadap hasil
panennya. Adanya KUD sebagai jembatan perekonomian mereka justru menyulitkan mereka. Peraturan utang piutang sebagai permodalan dijadikan lahan basah
untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
“Sudah lama kita menjadi petani tebu.
Hanya para pamong desa dan pengurus KUD yang semakin kaya. Para
petani tebu tetap melatar kata suparlan kepada istrinya”.
Petani sendiri kebingunan
mengatasi permasalahan mengenai hasil panen, harga sudah ditentukan dari KUD
dengan pihak pabrik Gula. Keterbatasan modal dijadikan jalan kaum birokrat dan
pengusaha sebagai alat memaksa para petani tebu untuk menuruti semua aturan
yang mereka buat. Sehingga para petani tebu kualahan, dan mengeluh.
“Ya, tapi mereka adalah orang-orang
pabrik gula. Petani tidak tahu . Aku yakin ada permainan di sini. Masak
rendemen tebu dari tahun ketahun selalu turun. Padahal tebunya sangat baik .
KUD ternyata hanya menerima saja, tak ada pembelaan. Bahkan petani selalu
diharapkan untuk sabar dan bekerja terus.”
Ketidak beranian para
petani untuk melawan arus merupakan faktor sebagai alasan para penguasa untuk
menyiasatinya. Pengetahuan yang belum memadahi dan terbatasnya informasi
mengenai pertanian masih dimiliki sebagian besar para petani, dengan demikian
para petani mudah untuk dikelabui oleh para orang-orang yang tidak bertanggung
jawab.
“Sudah ! Tebu Pak Parlan sekarang
sudah tak laku dijual. Salah sampean sendiri sih. Pokoknya sekarang saya tidak
mau bicara soal tebu kering itu lagi. Sebagai Lurah dan sekaligus pembina KUD,
saya harus meminta uang itu. Kalau tidak, Pak Parlan akan berurusan dengan
polisi.”
Realita kehidupan para
petani tebu sangat jelas digambarkan dalam Cerpen Rendemen karya M. Soim Anwar. Ketidak berdayaan para petani tebu
terhadap penentuan nasib mereka sendiri sangat kesulitan . Sistem Koperasi Unid
Desa (KUD) yang tidak berpihak kepada mereka dan para pamong desa serta para
pengusaha pabrik gula membuat hidup mereka semakin parah. Ketidak berdayaan ini
akibat dari kurangnya pengetahuan dan informasi mengenai dunia pertanian
terutama tentang pengelolaannya.
*******
[1]
Tugas mata kuliah Sosiologi Sastra
Program strata (S1) Pendidikan Bahasa dan Sastra STKIP PGRI Ponorogo yang
diampu Drs. Kasnadi, M.Pd
[2]
Mahasiswa PBSI Reguler A
[3]
Luxemburg, Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta :
Gramedia (1986) hal.23
4 Lihat Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesustraan,
(penerjemah: Meilani Budianti), Gramedia, hal 109
[5] Lebih
jelasnya mengenai sengketa lahan, lihat Republika ,29 April 2000
No comments:
Post a Comment