Wednesday 28 March 2012


KAJIAN CERPEN

BERBASIS SOSIOLOGI SASTRA

Potret Kehidupan Petani Tebu dalam Cerpen Rendemen

Karya M. Soim Anwar [1]

Oleh: Erwin Purwanto[2]



Realita sosial dalam pandangan sosiologi sastra merupakan sebab musabab lahirnya sebuah karya sastra (cerpen). Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norna-norma dan adat masa tersebut. Pengarang mengubah karyanya selaku seorang warga masyarakat dan menyapa pembaca yang sama-sama dengannya merupakan warga masyarakat tersebut[3].

Sastra menyajikan kehidupan dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyatan sosial, walaupun karya sastra meniru alam dan dunia subjektif manusia [4]. Lahirnya sebuah karya sastra merupakan buah dari perenungan dari pengalaman batin sang pengarang. Kejadian yang terjadi disekitar pengarng secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi sebuah karyanya, hal ini merupakan wujud dari luapan batin pengarng sendiri.

Realita kehidupan kaum petani saat ini masih jauh dari harapa mereka,  di lahannya sendiri seperti di lahannya orang lain. Di mana-mana saat ini para petani dihadapkan dari berbagai permasalahan dari prosesnya penanamannya sampai penjualannya. Petani sendiri sebenarnya tak muluk-muluk meiliki keinginan aneh-aneh hanya ingin seperti pepetah jawa ayem, tentrem, gemah rimpah loh jinawi.  Masyarakat kita yang sebagian besar para petani adalah sebagai ujung tombak terpenuhinya swasembada pangan. Sehingga mengenai masalah pangan tidak akan mengalami permasalahan yang fatal, akan tetapi kenyataannya negara kita masih mengimpor pangan dari negara lain.

Ketidak berdayaan kaum petani untuk memejukan perekonomiannya  terbatasi oleh sarana dan prasarananya. Apalagi campur tangan dari pihak lain yang mengatur harga hasil panen menambah para petani memutar otak dengan keras. Seperti yang dilansir oleh harian Republika mengenai masyarakat menguasai lahan kelapa sawit yang dimiliki PTPN III. Masyarakat setempat menguasai tanah tersebut dengan alasan sebagai milik leluhurnya yang diserobot PTP sebagai pengelolo lahan tersebut[5].

Dalam cerpen Rendemen inilah M. Soim Anwar mencoba menggambarkan bagaimana ketidak berdayaan kaum petani tebu terhadap hasil panennya. Adanya KUD sebagai jembatan perekonomian mereka justru  menyulitkan mereka. Peraturan utang piutang  sebagai permodalan dijadikan lahan basah untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.

Sudah lama kita menjadi petani tebu. Hanya para pamong desa dan pengurus KUD yang semakin kaya. Para petani tebu tetap melatar kata suparlan kepada istrinya”.



Petani sendiri kebingunan mengatasi permasalahan mengenai hasil panen, harga sudah ditentukan dari KUD dengan pihak pabrik Gula. Keterbatasan modal dijadikan jalan kaum birokrat dan pengusaha sebagai alat memaksa para petani tebu untuk menuruti semua aturan yang mereka buat. Sehingga para petani tebu kualahan, dan mengeluh.



“Ya, tapi mereka adalah orang-orang pabrik gula. Petani tidak tahu . Aku yakin ada permainan di sini. Masak rendemen tebu dari tahun ketahun selalu turun. Padahal tebunya sangat baik . KUD ternyata hanya menerima saja, tak ada pembelaan. Bahkan petani selalu diharapkan untuk sabar dan bekerja terus.”



Ketidak beranian para petani untuk melawan arus merupakan faktor sebagai alasan para penguasa untuk menyiasatinya. Pengetahuan yang belum memadahi dan terbatasnya informasi mengenai pertanian masih dimiliki sebagian besar para petani, dengan demikian para petani mudah untuk dikelabui oleh para orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

“Sudah ! Tebu Pak Parlan sekarang sudah tak laku dijual. Salah sampean sendiri sih. Pokoknya sekarang saya tidak mau bicara soal tebu kering itu lagi. Sebagai Lurah dan sekaligus pembina KUD, saya harus meminta uang itu. Kalau tidak, Pak Parlan akan berurusan dengan polisi.”



Realita kehidupan para petani tebu sangat jelas digambarkan dalam Cerpen Rendemen karya M. Soim Anwar. Ketidak berdayaan para petani tebu terhadap penentuan nasib mereka sendiri sangat kesulitan . Sistem Koperasi Unid Desa (KUD) yang tidak berpihak kepada mereka dan para pamong desa serta para pengusaha pabrik gula membuat hidup mereka semakin parah. Ketidak berdayaan ini akibat dari kurangnya pengetahuan dan informasi mengenai dunia pertanian terutama tentang pengelolaannya.



*******





[1] Tugas mata kuliah  Sosiologi Sastra Program strata (S1) Pendidikan Bahasa dan Sastra STKIP PGRI Ponorogo yang diampu Drs. Kasnadi, M.Pd
[2] Mahasiswa PBSI Reguler A
[3] Luxemburg, Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia (1986) hal.23
4 Lihat Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesustraan, (penerjemah: Meilani Budianti), Gramedia, hal 109

[5] Lebih jelasnya mengenai sengketa lahan, lihat Republika ,29 April 2000

No comments:

Post a Comment

Puisi

"Awan" Oleh:  Kang Win Awan mulai menylimuti matahari Cahaya panas kian menghilang Bak sirna dalam ke Hirupikukan Tak ada awan, t...