Sunday 27 May 2018

CERPEN

Menuju Kota
Oleh:
Erwin Purwanto*

Awan hitam, tiba-tiba beralih menjadi putih tipis sehabis gremis. Berjalan menylusuri negeri yang damai. Burung merpatipun menari-nari kegirangan di atas pohon turi. Menyapa perubahan musim yang diidam-idamkan.
Sepekan di tempat kelahiranya, terasa sejam dan berat untuk meninggalkan. Mi’un harus bergegas meninggalkan desa yang penuh kenangan. Sore-sore sekali sehabis dari Tempat Pemakaman Umum desa sebelahnya, Mi’un langsung menuju terminal diantar oleh ayahnya. Sesampai di terminal Mi’un mencium tangan ayahnya sebagai tanda hormat sekaligus berpamitan. Bus Terus Maju yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Mi’un memilih kursi yang dekat jendela bus. Kepalnya ditempelkan di kaca jendela. Pikirannya melayang-layang mencari seribu kenangan.
Apakah aku berdosa? Tiba-tiba hati Mi’un berbisik. Ingatannya masuk kedalam tiga tahun yang lalu. Kekasihnya di sebrang desa tempat kelahirannya kini tinggal nama.
Entah apa yang terjadi? Aku tak menyangka kau berbuat yang sama sekali tak ku bayangkan.
Dulu diujung telpon, sapaanmu selalu mengisi waktuku, candamu, tawamu, marahmu, serta crita-critamu yang lucu-lucu….!
Rembulan
Hari-hariku terisi oleh sinarmu
Sinarmu energi hidupku
Sinarmu menyapa tiap malam
Oh rembulan
Betapa cerah sinarmu
Hatiku tak berkutik
Tatkala sinarmu menyentuh hatiku
Hatiku gelap jadi terang
Terangi sinar cintamu
Hatiku beku jadi cair
Hatiku keras jadi lunak
Oh rembulan
Sinarmu sinar kehidupanku
Kutakkan Hidup tanpa sinarmu.

Aku mungkin cowok yang cengeng, cemen, tak bisa apa-apa. Itulah kata-kata yang terakhir yang dia lemparkan kepadaku. Dia namanya adalah Jelita. Malam-malam Dia datang ke kota menuju tempat rumah kontrakanku. Ketika aku masih aktif bermain drama di sanggar, tiba-tiba hpku berdering, hallo say….. aku sekarang sudah di rumah kontrakanmu, cepat kemari ya aku tungguu….! Tut…tut..tut….Tiba-tiba hand phoneku mati. Pertemuanku sama teman-teman segera aku akhiri. Aku segera naik sepeda montorku dan melaju cepat secepat kilat. Kekhawatiranku terhadap gadisku yang malam-malam kenapa datang, ada apa ini? Apakah mau bekerja disini? Berjejal pertanyaan di kepalaku.
Setiba di rumah kontraanku, aku kaget bukan main, ia tertidur di kursi teras sambil memegang botol minuman. Rambutnya terlihat acak-acakan tak disisir. Mulutnya berbau alkhohol, bajunya sangat kusut sekali. Sepontan aku mengambil minuman di kulkas, kemudian aku minumkan. Tiba-tiba dia bangun, dan menyapaku.  Hallo say…. Sayangku….gimana kabarmu, akau mau nginap sini ya…kangen, kangen, kangen say…?

Gadis yang dikenal Mi’un lewat facebook dan ternyata anak sebrang desanya. Kini tergampar lemah lunglai tak berdaya di hadapannya.
Bangun-bangun kenapa kamu ini? Ada apa? Mengapa kamu kayak gini? Teriak Mi’un.. Gadis itu mulia sadar. Jelita menceritakan tentang tadi pagi diejek temannya Lia, menganai tato di dada. Dia memenatang Jelita untuk membuat tato di dadanya. Apa kau berani? Tantang Lia. Ah gitu aja kamu sok kuat, lihat besok bagian pusar milingkar kebelakang akan aku tato! Jawab Jelita.
Mendengar cerita Jelita yang masih sebulan jadian sama Mi’un, Mi’un marah. Jelita yang dikenal lewat dunia maya ternyata seperti itu. Ketika Jelita menembak Mi’un, di kafe kesukaanya, Mi’un menerimanya sebab hampir satu setengah tahun setiap hari berkomunikasi selalu merasa nyaman, walaupun lewat sinyal telpon selluler saja. Kata hati Mi’un yang mangatakan menerima, namun secara pandangan mata masih bingun.
Keputusan Mi’un, akhirnya berbuah buah simalakama. Mi’un saja yang tidak pernah pegang botol minuman keras, kini belahan jiwanya malahan sudah ketagihan. Apakah ini kebadohanku? Mi’un bertanya-tanya dalam hati.
Sambil mendengarkan pengamen yang menyanyikan lagu "Pujaan Hati", Mi’un terus selalu teringat. Secara tak disadari Mi’un mengetik di handphone, dan meluapkan isi hatinya. 
Ketika pertemuan pertama, sebetulnya aku secara fisik sudah muak dengan keadaanmu, tapi aku berusaha ingin merubah hidupmu kejalan yang benar. Suara hatikulah yang mengatakan bahwa kamu bisa aku rubah berlahan-lahan.
Gadiku
Suaramu menyentuh hatiku
Tawamu menggugah candaku
Ceritamu menylinap dipikirku
Keluhanmu menusuk perasaanku
Oh  gadisku…
Hari-hariku menyertaimu
Sapamu berhujatan
Ruang waktuku terisi olehmu
Kehadiranmu datang setiap saat
Oh gadisku…
Betapa pudar pikirku
Tatkala mataku memandangmu
Kebenciaanku terslimut ditubuhmu
Dengan rambutmu terurai
Bajumu yang aduh hai
Badanmu yang memuai
Tertusuk panah yang tajam
Tak berkutik
Aku mengherankan ini
****

Aku dulu sudah berkata, apabila kamu mengecawakan perasaanku, aku terpaksa harus meninggalkanmu. Kalau kita mungkin jodoh Tuhan pasti melampangkan jalan kita. Tatkala itu kau berencana pergi ke negri sebrang.
Tapi kini apa yang terjadi, duniamu dan duniaku berbeda. Kau bohongi aku. Ketika kau  jarang kasih kabar, sebab kau sibuk dengan kerjaanmu. Memang kau sibuk dengan laki-laki lain. Kau mengaku masih perawan, ternyata kamu sudah janda. Ya usia pernikahanmu cuman lima bulan. Tapi, mengapa tatkala kau mengatakan kau suka padaku, kau berkata belum menikah. Gagal menikah gara-gara kau sering keluar rumah dan jarang pulang, itulah yang benar. Kebohonganmu sudah terbukti sebab mantan suamimu adalah temanku sendiri, yang aku  kenal seminggu yang lalu. Kini kau merengek-rengek dihadapanmu.
Huh…. dasar cowok…. Ecek, cemen, bajingan, anjing! Teriak Jelita sambil teler.  Aku percuma berkata keras-keras padamu. Bukan kata maaf yang keluar dari mulutmu, tapi perkataan kotor.  Sampai disini aja hubungan kita, aku tidak mau punya pacar seperti kamu. Uangku habis setiap minggu kau mengajak ke Mall, minta ini itu, sebetulnya masalah materi aku gak masalah, akan tetapi pembohongan besar yang kau buat. Aku ternyata ah … sebagai pelarian saja. Di luar pengawasanku kau memakai narkoba dan obat-obat terlarang bersama teman-temanmu laki-lakimu di luar sana, di base campmu. Aku tau semua. Kua sering tidur bersama-sama mereka. Hae… dengarkan aku? Teriakku sambil kupegang bahunya. Ya aku dengar cemen… kan itu semua surga dunia ha..ha…ha.. teriak Jelita.
Selang bebrapa jam datanglah segombolan pemuda datang. Permisi mas, Mas Mi’un to? Tanya salah satu pemuda. Ya siapa kalian??? …tanya Mi’un dengan suara tenang. Tiba-tiba salah satu dari mereka mengaku pacar Jelita. Mereka berpacaran sudah tiga bulan, dan sering pesta bersama di base camp. Lo mas Jelita kok di sini, mas siapanya? Tanya pemuda itu. Aku teman semasa kecilnya, ini tadi dia kebetulan lewat depan rumah, kemudian jatuh tergeletak. Kemudian aku bawa ke teras! Sebagai pemain drama, Mi’un berakting seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Sebetulnya halilintar menyambar keras di kepalanya meluluhkan segala apa yang didekatnya. Kemudia para pemuda tersebut membawa Jelita kedalam mobil dan terlihat mobil tersebut malaju cepat secepat kilat hilang di tengah  malam.

Rembulan kini engkau redup
Kau kelihatan gelap
Sinarmu padam
Terang beralih gelap
Gelap gulita
Hatiku tak bisa kau sinari
Kini aku bingung
Rembulan mengapa kau sirna?
Sinarmu tak bias menyentuh hatiku lagi
Hatiku kini tertutup kembali
Tak bisa tuk trima sinarmu
Cintaku hanyut ditengah malam
Tatkala sinarmu menyengat kulitku
Panas…
Panas….
Panas sekali….
Sengatan sinarmu beda dengan dulu
Ketulusanmu berubah garang
Tatkala kau katakana
Surga dunia
****
 Selang tiga bulan setelah kejadian di rumah kontrakan, aku membaca surat kabar dengan judul "Minuman keras oplosan menelan korban seorang gadis". Aku baca sampai habis, ternyata salah satu korban bernama Jelita Sukma Melati. Aku langsung korscek keteman-teman ternyata betul itu Jelita yang pernah masuk dalam hatiku.
Ah itu dulu satu tahun yang lalu. Samapi jumpa Jelita, semoga keberadaanmu di sana bisa tenang, semoga segala kesalahanmu diampuni, semoga kau ditempatkan di tempat yang semestinya. Ya Allah ampunilah segala dosa-dosanya. Allahhumma firlahu warkhamhu waa’fIhi wa’fua’nhu. Amin….ya robbala’lamin.
Kemudian Mi’un terlelap tertidur. “Mas-mas karcisya?” kondektur membangunkan Mi’un. “Oh ya…. Ini mas, sampai mana ni?” Tanya Mi’un. “Sudah nyampek Krian.” Jawab Kondektur
Terlihat lampu-lampu berjalan di tepi jalan sambil menunduk malu. Hawa dingin menylimuti suasan kota yang sunyi. Terlihat truk-truk kontainer belalu lalang dengan tampang yang seram. Sang waktu yang dibawa Mi’un menunjkan jam satu malam. Di dalam bus hanya terdapat sepuluh orang, mereka terlelap dalam mimpi-mimpi yang indah. Di depan terlihat pak sopir sedang menahan kantuk, sesekali mengajak ngobrol sang kondektur. Di atas Kepala pak sopir ada kaca yang tertulis "sekilas pandang sepintas senyum" . Mi’un ketika baca tulisan itu, teringat wajah Jelita dan kadang ia tersenyum-tersenyum sendiri.


Ponorogo, 11 Mei 2011

No comments:

Post a Comment

Puisi

"Awan" Oleh:  Kang Win Awan mulai menylimuti matahari Cahaya panas kian menghilang Bak sirna dalam ke Hirupikukan Tak ada awan, t...